KEPULAUAN MERANTI

Hindari Kenaikan Harga Tiket Kapal Feri, Minta Tambah Kuota BBM

Kepulauan Meranti | Sabtu, 09 April 2022 - 10:50 WIB

Hindari Kenaikan Harga Tiket Kapal Feri, Minta Tambah Kuota BBM
Para penumpang kapal cepat dari Dumai transit ke pelabuhan Pelabuhan Tanjung Harapan Kabupaten Kepulauan Meranti sebelum menuju ke Kepulauan Riau, Jumat (8/4/2022). (WIRA SAPUTRA/RIAUPOS.CO)

SELATPANJANG (RIAUPOS.CO) - Harga tiket motor vessel (MV) atau kapal feri terancam naik kembali. Pasalnya kuota bahan bakar minyak subsidi untuk transportasi umum yang beroperasi di pesisir Provinsi Riau dan Kepulauan Riau tersebut dikurangi. Padahal ada harapan besar ketika pandemi Covid-19 mulai menunjukkan kondisi positif bagi para pengusaha terkait. Terlebih kebijakan mudik telah kembali diberlakukan sejak dilarang sepanjang dua tahun lalu.

Pengurangan kuota BBM subsidi jenis solar membuat pengusaha jasa transportasi umum jenis kapal feri menjerit, khususnya yang ber-homebase di Kota Dumai, Riau.


Seperti yang diakui pemilik Stasiun Bahan Bakar Bunker (SPBB) Sinar Riau Petrolindo, Rachmad Harahap. Ia sudah dikirimi surat keberatan dari dua perusahaan pelayaran nasional yang mengeluhkan kuota BBM jenis solar yang terbatas karena tidak mencukupi keperluan operasional kapal feri dari Riau tujuan Kepri.

Rachmad menceritakan, sebelum terjadi pandemi Covid-19, kuota solar mencapai 400 kiloliter (kl) per bulan. Namun tahun 2022 ini dikurangi menjadi 140 kl per bulan. "Memang pada tahun lalu, saat dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat, serapan solar oleh kapal feri menurun akibat turunnya permintaan tiket kapal oleh masyarakat," ujarnya, baru-baru ini.

"Hal itu juga yang menjadi acuan pihak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) untuk mengurangi kuota solar subsidi kami. Namun, kini permintaan tiket kapal oleh masyarakat kembali naik sehingga kapal feri terancam tidak bisa jalan nantinya secara maksimal," tambahnya.

Seharusnya, menurut Rachmad kuota solar bisa dikembalikan menjadi 400 kl setiap bulannya. Dengan begitu bisa memenuhi keperluan transportasi masyarakat di wilayahnya. Jumlah kapal feri yang harus disuplai solar subsidi oleh PT Sinar Riau Petrolindo sebanyak empat armada, dengan keperluan setiap armada sebesar 5 kl per hari. Tentunya jika dihitung, maka hanya bisa memenuhi kebutuhan satu armada.

Sebaliknya, jika harus mengoperasikan seluruh armada, maka mau tak mau harus diisi solar nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal atau dua kali lipat lebih dari harga subsidi. Tentu kondisi itu akan berdampak terhadap masyarakat pengguna jasa transportasi umum.

"Harga solar subsidi hanya Rp5.150 per liter dan solar nonsubsidi atau industri mencapai Rp13.550 per liter. Dengan harga tiket dari Dumai ke Batam saat ini sebesar Rp450.000. Namun, harga tiket nantinya bisa saja menjadi Rp1 juta lebih karena kuota solar berkurang. Tentunya akan memberatkan masyarakat luas. Masa tiket feri bisa lebih mahal dari tiket pesawat dengan jarak yang relatif lebih dekat," terangnya.

Dua perusahaan pelayaran kapal yang sudah menyurati Sinar Riau Petrolindo adalah Pelnas Lestari Indomabahari (yang memiliki MV Dumai Ekspress, dan MV Dumai Line) dan Pelnas Batam Bahari Sejahtera yang memiliki MV Batam Jet. Keduanya menegaskan bahwa keperluan asupan solar kapal feri mereka setiap hari sebesar 5 kl atau 150 kl dalam setiap bulan.

Jumlah tersebut belum termasuk momen atau hari libur. Karena saat itu, otomatis meningkatnya jumlah armada yang beroperasi sejalan dengan meningkatnya jumlah penumpang. Sementara, dengan terjadinya pengurangan kuota solar subsidi yang penyalurannya melalui Sinar Riau Petrolindo, maka mereka tidak bisa beroperasi. Dan masyarakat juga tidak bisa melakukan aktivitas perjalanan seperti biasanya.

Rachmad mengaku pemotongan kuota solar tersebut menjadi kebijakan dari BPH Migas. Namun, secara berjenjang pihak Sinar Riau Petrolindo juga sudah membuat surat persoalan tersebut kepada pihak Pertamina. Sehingga kuota solarnya bisa kembali normal sebanyak sebelum pandemi Covid-19.

Kuota Akan Ditambah Sesuai Kebutuhan
Sementara itu, pihak BPH Migas mengaku akan menambah kuota solar subsidi untuk di Dumai sesuai kebutuhan. Penambahan itu setelah dilakukan evaluasi dan koreksi pada triwulan pertama.

Seperti yang ditegaskan oleh Sub Koordinator Ketersediaan BBM BPH Migas, Cristian, beberapa hari lalu (5/4). Ia akhirnya menjawab setelah meminta waktu untuk menelusuri persoalan di Dumai.

Sebelumnya, saat wartawan mengkonfirmasikan persoalan di Dumai kepada Kepala BPH Migas, Erika Retnowati mendelegasikan persoalan tersebut kepada Direktur BBM, Patuan Alfons. Sedangkan Direktur BBM BPH Migas mendelegasikan lagi kepada Cristian.

"Kuotanya akan disesuaikan dengan kebutuhan. Hal itu setelah kami lakukan evaluasi triwulan pertama dengan koordinasi dengan pihak Pertamina," kata Cristian.

Oleh karena itu, ia juga mengharapkan pemerintah setempat nantinya dapat mengawasi distribusi solar subsidi ini. Sehingga tidak disalahgunakan. "Dengan keterbatasan dan kelangkaan ini, kami berharap pemerintah daerah bisa ikut mengawasi distribusinya. Jangan sampai disalahgunakan," pintanya.

Selanjutnya, ia juga meminta Ditjen Perhubungan Laut dapat menjadwalkan keberangkatan kapal feri bisa lebih efisien. Sehingga dapat mengurangi jumlah pemakaian BBM solar subsidi nantinya. "Karena memang secara nasional kuota solar subsidi ini dikurangi sebesar 7 persen. Jadi, dengan keterbatasan itu kita harus bisa menggunakannya secara efisien," terang Cristian.

Di tempat terpisah, pihak Pertamina Patra Niaga Sales Area Riau Wira Pratama saat dikonfirmasi, mengatakan penyaluran biosolar untuk lembaga penyalur sesuai dengan kuota yang sudah ditetapkan per lembaga penyalur oleh BPH Migas sesuai dengan SK. "Jika SPBB mau diusulkan tambahan kuota ke BPH Migas, dari pemda bersurat ke BPH Migas saja," ujarnya.

Berharap Pemerintah Peduli Pesisir
Kebijakan pemerintah terhadap kebutuhan minyak subsidi masyarakat daerah pesisir tersebut, khususnya di Wilayah Provinsi Riau menimbulkan reaksi keras dari pengamat kebijakan publik, Dr Morris Adidi Yogia SSos MSi. Menurutnya pemerintah tidak memiliki sense krisis.

"Padahal, dengan pengurangan kuota solar subsidi bagi sarana transportasi umum tersebut berdampak langsung kepada masyarakat. Pemerintah seolah tidak peduli. Seharusnya sebelum diambil kebijakan pengurangan kuota solar tersebut, dilakukan kajian dan analisis yang mendalam. Sehingga masyarakat tidak terkorbankan seperti kondisi saat ini. Ini menandakan pemerintah tidak memiliki sense krisis. Dan ini berpotensi sebagai pemicu meningkatnya inflasi daerah," ujarnya.

Kemudian, jargon selama ini dengan memberdayakan pesisir hanya sebuah tagline belaka. Karena, realita di lapangan tidak menggambarkan kondisi di lapangan. "Masyarakat yang sudah terpuruk secara mental dan ekonomi dengan kondisi pandemi Covid-19 menjadi semakin terpuruk akibat efek domino dari pengurangan kuota BBM jenis solar subsidi ini. Mana yang katanya pemberdayaan pesisir yang didominasi masyarakat miskin," tegas Ketua Prodi Pascasarjana FISIP UIR ini.

Lebih jauh, kata dia, pemerintah selalu menjadikan daerah terpencil yang berada di pesisir sebagai pembentuk opini bahwa pemerintah bersikap empati. Nyatanya, malah sebaliknya. "Daerah terpencil selalu dijadikan sarana pembentuk opini bahwa pemerintah bersikap empati. Tapi seolah tidak mau peduli dengan kondisi masyarakatnya. Istilah masyarakat wilayah pesisir Riau sama dengan cakap tak serupa buat," tutur Morris.(wir)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook