HUKUM

Dinas Kesehatan Meranti dan Jaringan Diduga Pakai Perbup Palsu

Kepulauan Meranti | Minggu, 03 Oktober 2021 - 16:07 WIB

Dinas Kesehatan Meranti dan Jaringan Diduga Pakai Perbup Palsu
Tenaga Kesehatan Kabupaten Kepulauan Meranti melaksanakan vaksinasi massal di Taman Cik Puan Kecamatan Tebingtinggi. (WIRA SAPUTRA/RIAUPOS.CO)

SELATPANJANG (RIAUPOS.CO) - Peraturan bupati (Perbub) 91 Tahun 2020 yang digunakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kepulauan Meranti terhadap regulasi pelayanan rapid tes, ternyata bodong. 

Dari data yang diterima RiauPos.co, Perbup 91 tahun 2020 tersebut malah berisi pedoman tentang pengamanan benturan kepentingan di Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti yang terbit 30 Desember 2020 lalu. 


Sementara Perbup 91 tahun 2020 yang digunakan oleh Dinkes setempat, tentang regulasi tarif layanan rapid tes antigen severe acute respiratory syndrome related corona virus 2 pada instansi tersebut, dan jaringannya. 

Kepala Bagian Hukum Setdakab Meranti Sudandri Jauzah MH tidak menampik, namun ia enggan memberikan tanggapan terhadap dugaan pemalsuan berkas negara yang dilakukan jajaran dinas terkait.

"Yang jelas perbup 91 tahun 2020 teregister dalam catatan kami itu berkaitan tentang pengamanan benturan kepentingan di Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti yang terbit 30 Desember 2020 lalu. Tidak ada yang lain. Kalau tentang yang digunakan oleh dinas kesehatan anda simpulkan sendiri," ujarnya.

Terhadap pemalsuan berkas negara tersebut saat masih didalami oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Meranti. Dengan demikian, nasib Kadiskes Kabupaten Kepulauan Meranti dr Misri Hasanto, setelah ditetapkan tersangka oleh Polda Riau, kembali terancam di Kejari setempat. 

Setelah naik ke tingkat penyidikan, saat Kejari sedang mengajukan penghitungan kerugian negara (PKN) kepada Inspektorat setempat jelang penetapan tersangka kasus tersebut. Demikian disampaikan Kepala Seksi Intelijen Kejari (Kasi Intel) Kejari Kepulauan Meranti, Hamiko SH kepada Riau Pos, belum lama ini (29/9/21).

"Belum ada penetapan tersangka. Untuk proses penyidikan kami masih menunggu PKN dari pihak terkait dalam hal ini adalah Inspektorat," ungkapnya. 

Terhadap objek perkara yang sedang didalami ia memastikan berbeda dengan apa yang telah ditindaklanjuti oleh Polda Riau kepada dr Misri Hasanto.

"Objeknya berbeda. Di sini tentang pelaksanaan rapid tes yang dilakukan oleh dinas kesehatan. Kami menduga pelaksanaan dan biaya tidak sesuai dengan ketentuan berlaku. Pelaksana kadisnya yang saat ini berstatus saksi," ungkapnya.

Terhadap PKN itu pula mereka mereka menilai ada kebocoran atau kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaksana, mengingat pendapatan atau hasil dari pelaksanaan tersebut tidak jelas. Alias tidak masuk ke kas daerah setempat. 

Selain itu terhadap landasan tarif yang ditetapkan oleh pelaksana juga masih didalami. Mengingat Perbup 91 Tahun 2020 tentang tarif pelayanan rapid tes yang dijadikan landasan dan dasar, disinyalir palsu.

"Untuk kegiatan tersebar, mulai rapid tes massal kepada penyelenggara Pilkada 2020, hingga umum. Seluruhnya berbayar," ungkapnya. 

Hingga saat ini, menurutnya penyidik sudah memanggil belasan saksi. Mulai dari Kadiskes dr Misri beserta jajaran, pihaknya juga telah memanggil jajaran instansi lain seperti penyelenggara pilkada dan umum. 

Seperti diketahui dalam kasus berbeda, Polda Riau resmi menahan tersangka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Meranti Misri Hasanto, beberapa pekan lalu (17/9/21). Untuk keberadaan saksi H Misri menurut Hamiko tidak menghambat proses penyidikan. 

"Kan tinggal koordinasi saja. Pastinya tidak akan menghambat proses penyidikan walupun saksi juga telah menjadi tahanan Polda," ungkapnya. 

"Digarap" Polda Riau Lebih Dulu

Seperti diberitakan sebelumnya, Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi kepada wartawan menuturkan, penyalahgunaan wewenang oleh Kadiskes Meranti bermula pada 7 September 2020 lalu. 

Di mana, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI memberikan 30 ribu pcs alat rapid test antibodi Covid-19 merek Indeck Igg/IgM ke Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II Pekanbaru. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 3 ribu pcs diserahkan kepada Diskes Kepulauan Meranti sesuai surat permohonan sebanyak tiga kali. Kadiskes Misri setelah menerima alat rapid test sebanyak 3 ribu pcs, tidak pernah melaporkan ke bagian aset BPKAD maupun pengurus barang pada Diskes Meranti. 

"Alat tersebut disimpan di ruangan Kadiskes, yang seharusnya alat rapid test tersebut disimpan pada instalasi farmasi," ujar Kapolda Irjen Agung usai gelar pasukan di Mapolda Riau, Senin (20/9). 

Ia melanjutkan, sebagai laporan pertanggungjawaban, Kadiskes mengirimkan sebanyak empat kali daftar nama-nama penggunaan alat rapid dengan hasil nonreaktif untuk total pemanfaat 2.500 orang ke Korwil Kerja KKP Selatpanjang. Dari sana, ditemukan 996 orang yang di daftar, terdiri dari petugas di UPT, sama sekali tidak pernah dilakukan rapid test.

Diskes Meranti juga membuat dan mengirimkan ke KKP Kelas II Pekanbaru untuk laporan ralat daftar nama-nama pengunaan alat rapid test dengan hasil nonreaktif diganti menjadi hasil buffer stock untuk total pemanfaat 1.209 orang. 

"Tersangka diduga mengalihkan pemanfaatan alat rapid test untuk pertugas Bawaslu Meranti yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan UPT Puskesmas," ujar Kapolda lagi.

Selain itu, Kadiskes ditengarai juga menjual rapid test yang seharusnya diperuntukkan secara gratis kepada masyarakat kepada jajaran Bawaslu Meranti sebagai syarat tahapan pengawasan logistik dan kampanye pada 10 November 2020 sebanyak 191 orang dan tanggal 20 November 2020 sebanyak 450 orang. 

Bawaslu Meranti telah melakukan pembayaran tunai sebesar Rp150 ribu dikalikam 641 orang. Sehingga didapat total bayar sebesar Rp96.150.000 sesuai dengan kwitansi pembayaran Sekretaris Bawaslu Meranti. Untuk itu Polda Riau terus mendalami lebih jauh atas kasus ini. 

Termasuk juga menelusuri apakah ada pihak lain yang terlibat. Sedangkan untuk ancaman pidana, kapolda menyebut pihaknya menerapkan Pasal 3, 9 dan 10 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman 5-10 tahun penjara.

 

Laporan: Wira Saputra (Selatpanjang)

Editor: E Sulaiman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook