PANMUNJOM (RIAUPOS.CO) - Korea Utara (Korut) kian membuka diri. Terutama terhadap negara tetangganya, Korea Selatan (Korsel). Selasa (26/6) kedua negara membicarakan rencana revitalisasi rel kereta api yang melintasi perbatasan kedua negara. Jika rencana tersebut terealisasi, hal itu bisa meningkatkan perekonomian kedua negara.
Sejatinya sudah ada rel kereta api yang membentang dari Seoul ke Pyongyang dan dari Pyongyang ke Sinuiju di perbatasan Tiongkok. Yang membangun adalah Jepang pada 1906. Rel kereta sepanjang 498 kilometer itu dipakai untuk pergerakan prajurit dan suplai sebelum Jepang menguasai Semenanjung Korea tersebut. Namun kemudian, perang Korea pecah. Rel itu pun tak lagi berfungsi.
Selama satu dekade ini tidak pernah ada pembicaraan tentang rel yang menghubungkan dua negara tersebut. Diskusi di Panmunjom, zona demiliterisasi (DMZ), kemarin merupakan pembicaraan yang pertama.
Saat Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong-un bertemu pada April, mereka sepakat mengambil langkah-langkah untuk menghidupkan kembali rel kereta tua itu. Versi Korsel, transportasi yang lebih baik bakal meningkatkan ekonomi Korut lewat perdagangan dan sektor pariwisata. Dilansir The Strait Times, Moon juga memaparkan tentang menghubungkan jalur inter-Korea ke trans-Siberia.
Koneksi tersebut akan memberikan efek domino luar biasa pada perekonomian kedua negara dan juga Rusia. Selain Tiongkok, Rusia merupakan sekutu dekat Korut. Dengan KA, biaya mengangkut barang dari dan ke luar Korut menuju Cina serta Rusia bakal jauh lebih murah.
Jalur KA yang akan direvitalisasi itu juga bisa menghubungkan kota pelabuhan Busan, Korsel, ke Eropa dengan melewati Korut serta Rusia. Melihat kemungkinan efek perdagangan yang luar biasa itu, Korsel sepertinya sudah tak sabar untuk segera memulai.
Namun, membuat rencana tersebut terealisasi tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab, kedua negara harus menunggu hingga sanksi ekonomi Korut dicabut. Tidak diketahui dengan pasti kapan sanksi tersebut dihapuskan.
Amerika Serikat (AS) maupun PBB masih mengevaluasi proses denuklirisasi yang dilakukan Korut. Dalam wawancara dengan CNN yang dirilis Senin (25/6), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan tidak ada tenggat waktu untuk negosiasi denuklirisasi Korut. Selama sanksi belum dicabut, material untuk revitalisasi rel KA itu tak bisa diangkut ke Korut.
Halangannya bukan hanya soal sanksi. Para pakar menyatakan bahwa memperbarui rel KA Korut yang sudah sangat tua bakal butuh banyak biaya dan tenaga. Bisa jadi perlu puluhan tahun serta biaya miliaran dolar.
Kepala Delegasi Korsel Kim Jeong-ryeol juga paham akan sanksi yang membelit Korut. ’’Tapi, kami bisa meneliti berbagai proyek yang bisa kami lakukan setelah sanksi dicabut,’’ ujar Jeong-ryeol. Menghubungkan rel KA Korsel ke Korut tak hanya berdampak pada perekonomian dua negara, tapi juga menjadi tonggak perubahan yang luar biasa bagi hubungan dua Korea.
Selama ini, meski hidup dalam satu semenanjung, Korut dan Korsel hampir-hampir tak berhubungan sama sekali. Mereka seakan memiliki peradaban yang berbeda. Sejak gencatan senjata dilakukan pada 1953, tak ada komunikasi antar penduduk sipil dari Korut ke Korsel maupun sebaliknya. Tak ada pos, sambungan telepon, maupun transportasi yang terkoneksi.
Pada 2000-an, saat hubungan kedua negara membaik, jalur KA Gyeongui yang menghubungkan Seoul dan Stasiun Dorasan, Paju, terhubung sementara. Tepatnya pada Desember 2007, terdapat layanan dari Stasiun Munsan, Paju, menuju Stasiun Pongdong, Korut, yang berada di dekat Kota Kaesong.
Korsel mengirimkan material konstruksi. Sedangkan, saat kembali, kereta itu membawa baju dan sepatu yang diproduksi di industri gabungan yang dikelola Korut-Korsel di Kaesong. Saat situasi memanas pada November 2008, jalur itu diputus. Korsel sudah membangun stasiun KA di Dorasan, selatan DMZ.(sha/c17/dos/jpg)