Selain faktor Xinjiang, Beijing ingin memperketat kontrol perbedaan pendapat dalam kebijakan politik. Baik itu secara online maupun secara langsung di lapangan. Dengan kata lain, pemerintah memiliki kuasa di dunia nyata maupun di dunia maya untuk membatasi komentar penduduk.
Cina menilai bahwa komunikasi di dunia maya kerap berkontribusi terhadap terjadinya kekerasan. Karena itulah, harus ada pembatasan dan penyaringan lebih dulu sebelum komentar tersebut menyebar secara online. Dalam UU Antiterorisme, perusahaan yang berbasis teknologi komunikasi harus menyediakan ’’pintu belakang’’ bagi pemerintah Cina agar bisa mengintip percakapan penduduknya. Beijing meminta perusahaan-perusahaan menyerahkan kunci data enkripsinya.
Tentu saja, kebijakan itu sangat berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan juga pengambilalihan properti intelektual milik perusahaan. Namun, hal itu dibantah Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hong Lei. Dia menegaskan bahwa UU tersebut memiliki batasan. Yaitu, pengawasan hanya dilakukan pada kegiatan perusahaan yang resmi.
’’UU ini tidak akan menghambat kebebasan berekspresi di dunia maya maupun hak kekayaan intelektual dari perusahaan,’’ ujar Hong Lei. Setelah UU itu disahkan, militer Cina juga bisa melakukan aksi penanggulangan terorisme di luar negeri. Namun, banyak pakar menilai, itu bakal sulit dilakukan. Sebab, meski memiliki armada militer cukup besar, Cina hampir tidak pernah melakukan operasi militer di luar negeri.(sha/c4/tia)
Sumber: JPG/JPNN
Editor: Hary B Koriun