GAZA (RIAUPOS.CO) - Penduduk di kedua sisi perbatasan Israel-Lebanon menghadapi pergolakan ketika kekerasan yang meningkat dan memaksa puluhan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di tempat lain.
Perang terjadi antara militer Israel dan pejuang dari kelompok Hizbullah Lebanon sejak Meletus perang dua minggu yang lalu di sekitar Gaza. Dengan gesekan yang semakin meningkat, banyak keluarga yang mengungsi.
Israel pada hari Jumat memerintahkan evakuasi lebih dari 20.000 penduduk dari Kiryat Shmona, salah satu kota terbesar di perbatasan utara setelah terjadi baku tembak lintas batas yang sengit di daerah tersebut sehari sebelumnya.
"Ini adalah situasi yang rumit dan berbahaya (tetapi) kami kuat dan kami berharap ini akan segera berakhir," kata Edo Goldstein ketika ia tiba di kota yang biasanya tenang dan rindang itu untuk menjemput ayahnya yang sudah lanjut usia, seorang penduduk, dan membawanya pergi dilansir dari Reuters.
"Kami mencoba untuk bertahan hidup," kata Goldstein kepada Reuters.
Bertahan hidup adalah hal yang paling utama dalam benak warga sipil Lebanon dari desa Dhayra, sebelah barat Kiryat Shmona, Israel. Penduduk setempat mengatakan bahwa penembakan Israel telah menghancurkan 20 hingga 25 rumah dan mereka tidak dapat lagi tinggal di sana.
"Dhayra mengalami kerusakan paling parah. Perang meletus secara tiba-tiba," kata Zahira Omar Swaid, yang mengendarai mobilnya ke Tyre di pantai Mediterania, jauh dari lokasi penembakan, dan kini tinggal bersama keluarganya di sebuah sekolah, sambil menunggu tempat tinggal yang lebih permanen.
"Mereka tidak memberi kami peringatan untuk keluar dari rumah, sebagai tindakan pencegahan. Kami punya anak. Kami datang dengan mobil kami dan kami melarikan diri. Saya sedang memasak. Saya membiarkan gas terbuka. Saya melihat rumah tetangga kami hancur," katanya kepada Reuters.
Tentara Lebanon mengatakan seorang jurnalis terbunuh oleh tembakan Israel pada hari Kamis di seberang perbatasan Kiryat Shmona. Sementara Israel mengatakan pada hari Jumat bahwa mereka telah menargetkan tiga pejuang dari kelompok Hizbullah yang didukung oleh Iran di dekat perbatasan.
Hizbullah mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Pembunuhan warga sipil dan penyerangan terhadap keamanan negara kami tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa tanggapan atau hukuman."
Daniel Hagari, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), mengatakan bahwa evakuasi massal di sepanjang perbatasan utara Israel, memungkinkan tentara untuk "memperluas kebebasan operasionalnya untuk bertindak melawan organisasi teroris Hizbullah."
Nisim Tabaria, seorang warga Israel berusia lanjut yang berjalan dengan menggunakan tongkat, melambaikan tangan kepada para tetangganya saat ia masuk ke dalam mobilnya.
"Kami lahir di sini, kami melewati dua atau tiga perang di utara, kami berharap ini akan berakhir. Pasti akan ada," katanya.
Otoritas lokal di kedua sisi perbatasan dengan cepat mencari akomodasi untuk jumlah pengungsi yang terus bertambah, yang meninggalkan rumah mereka dengan mobil-mobil yang penuh dengan koper.
"Kami tidak bisa membuka lebih banyak tempat penampungan,” ujar Mortada Mhanna, seorang pejabat dari unit penanggulangan bencana di Tyre.
“Kami sedang berdiskusi dengan setiap kota dan melihat rumah-rumah yang tersedia, atau apakah ada yang membuka rumahnya," lanjutnya.
Israel menempatkan para pengungsi yang jumlahnya membengkak di wisma-wisma dan hotel-hotel jika mereka tidak memiliki keluarga untuk ditinggali.
Bendera-bendera telah dipasang di tiang-tiang lampu dan gedung-gedung di seluruh negeri ketika warga Israel bersatu di belakang militer menjelang invasi darat ke Gaza dan kemungkinan eskalasi konflik dengan Hizbullah.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman