GAZA CITY (RIAUPOS.CO) – Pasukan Israel memulai operasi serangan ke dalam kompleks Rumah Sakit (RS) Al Shifa, Jalur Gaza, Rabu (15/11). Para dokter di RS itu hanya diberi peringatan 30 menit sebelum serangan dimulai. Tak pelak, ratusan staf dan pasien pun mengalami kepanikan luar biasa. Di RS itu juga ada ribuan penduduk sipil yang mengungsi. ’’Kami diminta menjauhi jendela dan balkon. Kami dapat mendengar suara kendaraan lapis baja. Mereka sangat dekat dengan pintu masuk kompleks,’’ ujar dr Khaled Abu Samra, tim medis RS Al Shifa.
Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus kemarin (15/11) juga mengatakan, pihaknya telah kehilangan kontak dengan petugas kesehatan di RS Al Shifa setelah pasukan Israel memulai operasi di dalam fasilitas tersebut.
’’Laporan serangan militer ke Rumah Sakit Al Shifa sangat memprihatinkan,’’ bunyi unggahan Ghebreyesus di X. ’’Kami sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka dan pasiennya,’’ tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan yang diposting online, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengakui telah memulai operasi yang tertarget dan tepat sasaran terhadap Hamas di area tertentu di RS Al Shifa. Mereka meyakini di bawah RS itu ada terowongan dan pusat komando milik Hamas. Selain itu, para sandera juga telah ditawan di dalamnya. Namun, klaim tersebut dibantah para dokter dan Hamas.
Pada hari yang sama, pasukan IDF juga menyerang RS lain yang tersisa di Gaza. Beberapa ambulans dilaporkan mengalami kerusakan. Bom-bom masih terus dijatuhkan di berbagai lokasi. Minimnya komunikasi menyebabkan tidak adanya update korban jiwa.
Sementara itu, Euro-Med Human Rights Monitor mengungkapkan, IDF telah menjadikan RS Al Shifa sebagai barak militer, pusat penahanan, dan sasaran berbagai bentuk pelecehan. Tim mereka mendokumentasikan tembakan sporadis di RS itu sejak menit-menit awal penggerebekan. Mereka mempertegas kesaksian bahwa tidak ada tembakan selain dari pasukan Israel.
Organisasi yang bermarkas di Jenewa itu menyebut tentara Israel adalah satu-satunya pihak yang mengendalikan situasi di dalam RS Al Shifa. Tidak ada pihak ketiga atau organisasi internasional yang diizinkan berada di dalam.
Tentara Israel sengaja membesar-besarkan tujuan penyerbuan kompleks Al Shifa selama beberapa hari terakhir dan menggambarkannya sebagai pencapaian militer. Mereka menghasut tentaranya untuk menyerang fasilitas medis. Euro-Med Human Rights Monitor meminta agar pasukan IDF segera keluar dari RS Al Shifa.
Atas tindakan itu, sekelompok pengacara yang mewakili warga Palestina korban serangan Israel di Gaza telah mengajukan pengaduan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). ’’Bagi saya, jelas bahwa ada semua kriteria untuk kejahatan genosida. Jadi, ini bukan pendapat saya, ini realitas hukum,’’ ujar Gilles Devers, seorang pengacara veteran Prancis.
Terpisah, Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez mendesak Israel untuk mengakhiri pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga Palestina di Gaza. Dia berjanji pemerintahan barunya akan bekerja di Eropa dan Spanyol untuk mengakui keberadaan negara Palestina.
’’Kami menuntut gencatan senjata segera dari pihak Israel di Gaza dan kepatuhan yang ketat terhadap hukum kemanusiaan internasional, yang jelas-jelas tidak dihormati saat ini,’’ tegas Sanchez seperti dikutip Al Jazeera.
Dia mendukung Israel terkait serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. Namun, pada saat bersamaan, pihaknya juga menolak pembunuhan massal tanpa pandang bulu terhadap warga Palestina di Jalur Gaza maupun Tepi Barat.
Serangan Israel Setara Dua Bom Nuklir
’’Penjajah Israel adalah negara teroris.’’ Kalimat itu dilontarkan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ketika berpidato di parlemen negaranya kemarin (15/11). Dia mengecam strategi pasukan Israel yang telah menghancurkan sepenuhnya Jalur Gaza.
Menurut Erdogan, Israel telah terang-terangan melakukan kejahatan perang. Namun, pada saat bersamaan, dunia Barat diam tak berkutik seakan melakukan pembiaran. Dia juga membela Hamas yang oleh negara-negara Barat dilabeli sebagai kelompok teroris. ’’Hamas adalah sebuah partai politik. Mereka telah mengambil bagian dalam pemilu di Gaza dan menang. Itu adalah fakta yang jelas,’’ ungkap Erdogan seperti dikutip The Times of Israel.
Erdogan menyebut, Hamas menginginkan hak-hak mereka yang dirampas oleh Amerika Serikat (AS) dan penjajah Israel. Pemimpin berusia 69 tahun itu memang paling vokal mendukung kemerdekaan Palestina dan mengutuk Israel sejak sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, meluncurkan Operasi Badai Al Aqsa pada 7 Oktober lalu. Respons balasan Israel sangatlah tidak manusiawi.
Erdogan menuding Israel memiliki senjata nuklir dan mengancam semua orang dengan kekuatan tersebut. Saat ini, hubungan Turki-Israel berada di titik terendah. ’’Kami akan menggunakan kemampuan diplomatik kami sepenuhnya untuk menghentikan serangan biadab terhadap Jalur Gaza,’’ tegasnya.
Sementara itu, Euro-Med Human Rights Monitor mengungkap, sejak awal perang, Israel menjatuhkan lebih dari 25 ribu ton bahan peledak di Jalur Gaza. Angka itu setara dengan dua bom nuklir. Sebagai perbandingan, bom nuklir Little Boy yang dijatuhkan AS di Hiroshima selama Perang Dunia II memiliki 15 ribu ton bahan peledak berkekuatan tinggi.
Bom atom tersebut menghancurkan segala sesuatu dalam radius 1,6 kilometer. Citra satelit dan foto-foto menunjukkan, saat ini hampir seluruh lingkungan di Jalur Gaza telah rata dengan tanah. Banyak rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan rumah-rumah yang rusak atau hancur akibat serangan darat, laut, dan udara pasukan Israel. Seluruh instalasi pengolahan air dan sistem komunikasi kini juga telah dinonaktifkan.(sha/c6/hud/jpg)