WASHINGTON (RIAUPOS.CO) -- Amerika Serikat terus menyodok sisi sensitif Cina. Awal pekan ini, Dewan Perwakilan AS mengetok palu atas rancangan undang-undang mengenai isu penindasan etnis Uighur. Regulasi tersebut menyulut api baru dalam pertikaian dua raksasa ekonomi dunia itu.
"Hari ini, hak asasi dan martabat komunitas Uighur terancam oleh aksi barbar Beijing. Hal ini membuat seluruh dunia marah," ungkap Ketua Dewan Perwakilan AS Nancy Pelosi dikutip Agence France Presse.
Undang-undang serupa sebenarnya sudah dibuat Senat AS September lalu. Namun, majelis rendah yang dikuasai Partai Demokrat merasa bahwa keputusan pemerintah kurang kuat. Karena itu, mereka membuat aturan Uighur versi mereka sendiri.
Regulasi tersebut mewajibkan kementerian luar negeri untuk menyelidiki kekejaman pemerintah Cina di Xinjiang dalam jangka waktu. Presiden AS Donald Trump juga wajib memberikan sanksi kepada lembaga atau sosok yang bertanggung jawab atas penindasan etnis Uighur.
"Tindakan Cina adalah kamp konsentrasi (Nazi, red) di era modern," tegas anggota kongres fraksi Republik Chris Smith dilansir Al Jazeera.
Undang-undang tersebut mendapatkan dukungan kuat dari dewan perwakilan. Dari 408 anggota yang memberi suara, hanya satu yang menolak. Yakni, perwakilan distrik 4 Kentucky, Thomas Massie. Massie juga menolak rancangan Undang-Undang Hongkong saat diuji di dewan perwakilan.
"Ketika pemerintah mencoba mencampuri urusan domestik negara lain, itu artinya kita mengundang negara lain untuk mencampuri urusan kita," jelasnya.
Undang-undang tersebut butuh persetujuan dari Gedung Putih sebelum diberlakukan. Namun, kongres harus menggabungkan dua kebijakan serupa sebelum mengajukannya ke Trump. Sampai saat ini, pemerintah belum memastikan apakah presiden AS bakal menyetujui proposal tersebut.
Meski kebijakan tersebut belum berlaku, pemerintahan Xi Jinping sudah kebakaran jenggot. Tak lama setelah Dewan Perwakilan AS mengetokkan palu, Kemenlu Cina langsung memberikan tanggapan resmi.(bil/c25/dos/jpg)