GAZA CITY (RIAUPOS.CO) – ’’Semuanya masih hidup.’’ Pernyataan itu dilontarkan pihak Hamas terkait daftar 10 tawanan Israel yang akan mereka bebaskan. Pembebasan tersebut adalah bagian dari perpanjangan gencatan senjata selama sehari, Kamis (30/11).
Jika ditotal, sudah sepekan penghentian sementara perang itu berlangsung.
Perpanjangan tersebut dilakukan untuk memberikan waktu kepada para negosiator di Qatar. Mereka tidak hanya membahas masalah perpanjangan, tapi juga kemungkinan gencatan senjata permanen. Anggota Hamas Mohammad Nazzal mengatakan bahwa Hamas siap melakukannya. Namun, Israel hingga kemarin masih menolak opsi tersebut.
’’Saya pikir ada perpecahan di dalam kepemimpinan Israel, yaitu antara lembaga politik dan militer. Hingga saat ini, mereka belum memutuskan apakah siap menghentikan perang atau melanjutkan perang,’’ ujar Nazzal seperti dikutip Al Jazeera.
Untuk perpanjangan selama sehari kemarin, Hamas awalnya mengirimkan daftar 10 tawanan yang terdiri atas 7 orang yang masih hidup dan 3 tawanan yang tewas. Penyebab tewasnya tawanan itu adalah serangan udara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sendiri.
Namun, Pemerintah Israel menolak hal itu. Israel ingin semua yang dibebaskan adalah tawanan yang hidup. Dua di antaranya yang dibebaskan Hamas memiliki kewarganegaraan ganda Israel-Rusia.
Kesepakatan tersebut memberi kesempatan bantuan kemanusiaan untuk terus masuk ke Jalur Gaza. Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengungkapkan, ada 1.132 truk bantuan yang memasuki Gaza sejak gencatan senjata dimulai pada Jumat (24/11). Namun, PBB menilai jumlah bantuan yang masuk ke Gaza masih terlalu rendah.
Juru Bicara Unicef James Elder mengatakan, bantuan yang masuk sudah tepat. Di antaranya, bahan bakar, obat-obatan, makanan, dan selimut. Namun, kebutuhan di Gaza saat ini luar biasa besar sehingga bantuan yang masuk tidak cukup. ’’Bantuan tersebut perlu dilipatgandakan. Semua yang ada di sini sekarang membutuhkan perawatan darurat,’’ tegasnya seperti dikutip The Guardian.
Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir menjanjikan distribusi senjata lebih banyak lagi kepada warga sipil. Itu adalah tanggapan atas insiden penembakan di Jerusalem yang membuat 3 warga Israel tewas dan 13 lainnya luka-luka.
’’Senjata menyelamatkan nyawa. Meskipun ada kritik dari berbagai pihak, saya akan melanjutkan kebijakan membagikan senjata di mana pun, baik ke ruang gawat darurat maupun warga sipil,’’ bunyi unggahan menteri ultra-nasionalis sayap kanan tersebut di akun X miliknya.
Pelaku penembakan yang beraksi di pemberhentian bus di Yerusalem Barat tersebut sudah ditembak mati. Mereka adalah Murad Namr (38) dan saudaranya, Ibrahim Namr (30). Mereka pernah dipenjara oleh Israel dengan tuduhan melakukan aktivitas teror. Murad menghabiskan 10 tahun di penjara hingga bebas pada 2020 karena merencanakan serangan teror, sedangkan Ibrahim ditahan pada 2014.
Beberapa hari setelah serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, Gvir mulai mendistribusikan ribuan senapan serbu kepada warga Israel. Prioritasnya adalah orang Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Termasuk warga Israel yang tinggal bersama warga Palestina di kota-kota campuran di Israel.
Hamas mengakui bahwa dua pelaku adalah anggotanya. ’’Operasi tersebut dilakukan sebagai respons alami terhadap kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan penjajah (Israel, red),’’ bunyi pernyataan Hamas.
Sikap Hamas merujuk pada serangan brutal IDF di Gaza dan perlakuan mereka terhadap tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Penduduk Gaza yang dibebaskan mengungkapkan betapa mengerikan dan tidak manusiawinya penyiksaan di penjara-penjara Israel.
Sebagian di antara mereka bahkan mengalami cacat seumur hidup. Salah satunya, Israa Jaabis yang bebas setelah ditahan 8 tahun oleh Israel. Wajahnya hancur seperti disiram air keras dan jari-jarinya dipotong.(sha/c7/bay/jpg)