BEIJING (RIAUPOS.CO) - Amerika Serikat (AS) selama ini sangat agresif menyerang Cina dalam banyak hal. Dua hal yang panas adalah soal pandemi virus corona (Covid-19) dan demo prodemokrasi di Hongkong. Namun mereka lupa bahwa kasus rasialis masih membesar di AS, dan saat ini muncul demo dan kerusuhan karena kasus rasialis.
Kondisi itu dimanfaatkan oleh Pemerintah Cina untuk memukul balik apa yang dilakukan oleh AS. Media pemerintah Cina, Global Times, menyoroti kerusuhan di beberapa kota AS akibat aksi protes terkait kematian George Floyd yang berakhir ricuh. Mereka membandingkan kerusuhan di AS dengan gerakan pro-demokrasi di Hongkong beberapa waktu lalu.
Pihak Beijing telah lama geram atas kritik negara-negara Barat, terutama dari pemerintahan AS di Washington, atas penanganan protes prodemokrasi yang mengguncang Hongkong tahun lalu.
Juru bicara pemerintah dan media resmi Cina kemudian melancarkan serangan balasan berupa kritik tajam terkait penanganan pemerintah AS atas demonstrasi akibat kekerasan rasial dan kebrutalan polisi yang mengakibatkan George Floyd, warga kulit hitam meninggal dunia.
"Ketua DPR AS Nancy Pelosi pernah menyebut protes kekerasan di Hongkong 'pemandangan yang indah untuk dilihat...' Politisi AS sekarang dapat menikmati pemandangan ini dari jendela mereka sendiri," tulis pemimpin redaksi tabloid nasionalis Global Times, Hu Xijin, seperti dikutip dari AFP.
"Seolah-olah para perusuh radikal di Hongkong entah bagaimana menyelinap ke AS dan menciptakan kekacauan seperti yang mereka lakukan tahun lalu," tambah dia lagi.
Kritik juga disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying. Dalam sebuah cuitan di Twitter, Hua menulis: I Can't Breathe, disertai tangkapan layar cuitan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus yang mengkritik pemerintah Cina atas kebijakan terkait Hongkong.
Hua mengutip kata-kata yang diucapkan George Floyd berulang kali sebelum kematiannya --setelah seorang polisi menekankan lututnya ke leher Floyd hampir sembilan menit-- yang memicu kerusuhan besar di AS.
George Floyd meninggal pada Senin (25/5) akibat kehabisan napas setelah anggota polisi menekan lehernya dengan lutut dalam proses penangkapan di Minneapolis. Demonstrasi pecah pertama kali di kota itu sehari setelah Floyd meninggal.
AS sebelumnya kerap mengkritik kebijakan Cina terkait penanganan kerusuhan di Hongkong beberapa waktu lalu akibat protes yang dilancarkan aktivis prodemokrasi.
Namun Cina berkeras bahwa "pasukan asing" yang harus disalahkan atas kekacauan ketika aksi demonstrasi di Hongkong sejak Juni tahun lalu bergulir atau pun terkait insiden bentrok dengan pihak kepolisian.
Pihak pemerintahan Cina di Beijing sebelumnya juga memicu kemarahan dan keprihatinan pada awal bulan ini setelah berencana memberlakukan undang-undang tentang Hongkong --yang disebut diperlukan guna melindungi keamanan nasional dan mengekang "terorisme"-- tapi justru dikecam oleh aktivis prodemokrasi dan negara-negara Barat lantaran disebut sebagai upaya mengikis kebebasan di kota.
Menyusul pengumuman Presiden AS Donald Trump terkait rencana penanggalan hak istimewa Hongkong, sebuah komentar mengemuka dari China Daily --salah satu corong Partai Komunis China-- yang menyatakan politisi AS bermimpi "menumbalkan" Cina.
"Lebih baik menyerah atas mimpi itu dan kembali ke kenyataan," kata respons tersebut.
"Kekerasan menyebar di AS... Politisi AS harus melakukan pekerjaan mereka dan menyelesaikan masalah di AS, alih-alih mencoba menciptakan masalah baru di negara lain," lanjut pernyataan itu.
Masalah mengenai Hongkong disebut memperburuk ketegangan antara AS-Cina yang sudah tinggi karena sejumlah masalah, termasuk soal perang dagang dan wabah virus corona, di mana Trump menuduh pemerintah Cina tidak transparan.
Sumber: China Daily/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun