JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Rafael Alun Trisambodo, Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terancam hukuman berat. Hal ini setelah dia ditetapkan sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.
Dalam gelar perkara terkait perkembangan penyidikan kasus ini, ayah Mario Dandy Satrio itu dijerat dengan Pasal 12 huruf B UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tipikor. Dari pasal ini, Rafael Alun terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, jika dalam persidangan nanti terbukti menerima berbagai gratifikasi seperti yang disangkakan tim penyidik lembaga antirasuah kepadanya.
Dalam melakukan penerimaan sejumlah uang gratifikasi, Rafael Alun diduga menggunakan kedok jasa perusahaan konsultan pajak, dimana istrinya menjadi pemilik saham sekaligus komisaris dalam perusahaan tersebut. Berbagai wajib pajak seperti perusahaan BUMN hingga sawit pun menjadi klien perusahaan tersebut.
Setelah, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.
Penetapan Rafael Alun sebagai tersangka, diputuskan usai tim penindakan lembaga antirasuah, menemukan lebih dari dua alat bukti, terkait berbagai penerimaan uang yang diperoleh Rafael Alun dari berbagai pihak yang dibantunya terkait masalah perpajakan.
Selain itu, penetapan tersangka ini juga dilakukan usai KPK melakukan gelar perkara pada awal pekan ini, bersama sejumlah jajaran di kedeputian penindakan hingga pimpinan dan sepakat menaikkan kasus kepemilikan ‘rekening gendut’ Rafael Alun ke tahap penyidikan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun JawaPos.com, Rafael Alun diduga menerima sejumlah gratifikasi melalui kantor jasa konsultan pajak, di mana kantor tersebut pemegang saham atau komisarisnya ibu Mario Dandy Satrio itu sendiri. Dari perhitungan sementara, Rafael Alun menerima gratifikasi hampir Rp1 miliar.
KPK menetapkan mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo (RAT) sebagai tersangka gratifikasi. Lembaga anti rasuah itu mengaku telah menemukan dua alat bukti permulaan indikasi korupsi.
Rafael diduga menerima gratifikasi dalam kapasitasnya sebagai pemeriksa pajak pada DJP Kementerian Keuangan dalam kurun waktu 2011-2023.
"Jadi ada dugaan pidana korupsinya telah kami temukan. Terkait dengan dugaan korupsi penerimaan sesuatu oleh pemeriksa pajak pada Ditjen Pajak Kemenkeu tahun 2011-2023," terang Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, JakartaSelatan, Kamis (30/3/2023).
Namun Ali belum mau merinci identitas yang menjadi tersangka. Ia hanya memastikan bahwa dugaan temuan ketidakwajaran harta kekayaan mantan pejabat pajak telah naik ke tahap penyidikan.
"Teman-teman sudah tahu konstruksi singkat perkara ini sehingga proses penyidikan ini sudah kami pastikan sudah ada tersangkanya dan namun demikian tentu kami belum bisa sampaikan identitas tersangka dimaksud," tuturnya.
Meski demikian, Penyidik KPK telah menemukan peristiwa pidananya dan dari bukti permulaan yang cukup dan juga menemukan pihak yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sebelumnya, KPK menyatakan perkara Rafael Alun telah naik ke tahap penyelidikan.
Namun, terkait apa yang ditudukan KPK kepadanya, sebelumnya Rafael Alun membantah tak menggunakan jasa konsultan dalam mengelola aset kekayaan.
“Saya tidak pernah menggunakan jasa konsultan pajak. Jika memang diduga ada bantuan dari konsultan pajak mohon dijelaskan bantuannya seperti apa?,” kata Rafael Alun kepada wartawan, Ahad (26/3/2023) lalu.
Terkait asal usul harta kekayaannya yang saat ini tengah dalam pemeriksaan KPK, dirinya tak habis pikir. Pasalnya, ia selalu melaporkan harta kekayaannya sejak 2011. Rafael Alun pun mengaku sudah beberapa kali diklarifikasi mengenai asal usul hartanya oleh KPK pada 2016 dan 2021, serta Kejaksaan Agung pada 2012.
Rafael Alun menyatakan, sejak 2011 tidak pernah ada penambahan aset tetap sehingga penambahan nilai semua karena peningkatan nilai jual objek pajak.
“Jadi kalau sekarang diramaikan dan dibilang tidak wajar hanya karena kasus yang dilakukan oleh anak saya, jadi janggal karena sudah sejak 2011 sudah dilaporkan. Selain itu pada tahun 2016 dan 2021 sudah klarifikasi oleh KPK, serta tahun 2012 telah diklarifikasi di Kejaksaan Agung,” ucapnya.
Lagipula, katanya, terkait perolehan harta yang dimiliki sudah tercatat dalam surat pemberitahuan tahunan orang pribadi (SPT-OP) di Ditjen Pajak sejak 2002. Selain itu, terkait adanya penambahan harta juga telah dilaporkan rutin dalam SPT pada saat harta tersebut diperoleh.
“Perolehan aset tetap saya sejak tahun 1992 hingga tahun 2009, seluruhnya secara rutin tertib telah saya laporkan dalam SPT-OP sejak tahun 2002 hingga saat ini dan LHKPN sejak tahun 2011 sampai dengan saat ini. Seluruh aset tetap tersebut sudah diikutkan program TA (Tax Amnesty) tahun 2016 dan juga diikutkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun 2022. Sehingga saat ini seharusnya sudah tidak menjadi masalah” pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putrra