JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sulit membongkar kasus perkara suap pergantian antar waktu (PAW) fraksi PDI Perjuangan. Pasalnya, kasus itu menyeret Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Kasus PAW anggota DPR RI itu turut menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDI Perjuangan Harun Masiku. KPK menduga Wahyu dijanjikan uang senilai Rp900 juta jika bisa meloloskan Harun duduk di kursi DPR.
"Kalau dibilang sulit, ya pasti sulit. Karena kita tahu pimpinan KPK yang sekarang dari awal sudah punya bargaining dengan anggota DPR yang milih mereka," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (14/1).
Bivitri menjelaskan, pada masa proses uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK periode 2019-2024, mereka (Calon Komisioner, red) diminta tanda tangan kontrak politik oleh anggota Komisi III DPR RI. Menurutnya, tanda tangan itu sebagai bentuk mendukung UU KPK hasil revisi atau UU Nomor 19/2019 tentang KPK.
"Mungkin kita semua ingat, waktu itu mereka semua sampai disuruh tanda tangan di atas materai untuk mendukung revisi UU KPK, itu indikasi saja. Indikasi konkret fakta bukan hoax," ucap Bivitri.
Bivitri memandang, tanda tangan itu diartikan sebagai kontrak politik agar pimpinan KPK yang saat ini menjabat tidak serta merta mengusut kasus korupsi yang menyeret elite partai.
"Sehingga mereka enggak akan bisa leluasa untuk menghantam politikus. Karena ada hal-hal yang sudah dinegosiasikan sedari awal," sesalnya.
Tak hanya itu, Bivitri juga menyebut indikasi lainnya terlihat dalam konferensi pers dalam penetepan tersangka kasus PAW anggota DPR RI. Menurutnya, Agustiani Tio Fridelina yang disebit orang dekat Wahyu yang juga mantan anggota Bawaslu merupakan Caleg dari PDI Perjuangan.
"Waktu nyebut nama-nama tersangka, mereka enggak langsung bilang ini dari PDIP tapi misalnya ada satu mantan anggota Bawaslu, dia jadi anggota Bawaslu periode lalu sepuluh tahun lalu. Tapi yang disebut mantan anggota Bawaslu, padahal jelas kalau kita lihat dia itu Caleg dan juga dia adalah LO-nya PDIP waktu Pemilu 2019," tegas Bivitri.
Bivitri menyebut, ini merupakan bentuk kritik terhadap lembaga antirasuah yang tidak tegas berani menyebut nama partai yang diduga melakukan suap kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Saya melihat tantangannya besar banget, buat KPK lebih tegas, karena ini partai terbesar dan presiden juga dari partai itu. Saya kira dengan proses pemilihan oleh DPR membuat KPK tidak leluasa bergerak," tukasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menilai mengatakan, pihaknya akan menyikapinya dengan dewasa. Karena bukan kali ini PDIP diterpa isu miring.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka yakni Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina selaku mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Harun Masiku selaku caleg DPR RI fraksi PDIP dan Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total Rp900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani Tio yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Harun dan Saeful yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sulit membongkar kasus perkara suap pergantian antar waktu (PAW) fraksi PDI Perjuangan. Pasalnya, kasus itu menyeret Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Kasus PAW anggota DPR RI itu turut menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDI Perjuangan Harun Masiku. KPK menduga Wahyu dijanjikan uang senilai Rp 900 juta jika bisa meloloskan Harun duduk di kursi DPR.
"Kalau dibilang sulit, ya pasti sulit. Karena kita tahu pimpinan KPK yang sekarang dari awal sudah punya bargaining dengan anggota DPR yang milih mereka," kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (14/1).