DIHADIRKAN KPK

Rizal Ramli dan Kwiek Kian Gie Akan Bersaksi untuk Kasus SKL BLBI

Hukum | Rabu, 04 Juli 2018 - 16:45 WIB

Rizal Ramli dan Kwiek Kian Gie Akan Bersaksi untuk Kasus SKL BLBI
Kwiek Kian Gie. (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dua mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, yaitu Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie, akan dihadirkan sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keduanya akan bersaksi dalam sidang perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK menyebut, kehadiran keduanya untuk memperkuat proses pembuktian.

"Untuk semakin memperkuat proses pembuktian, sidang selanjutnya, Kamis, 5 Juli 2018, akan dihadirkan Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah kepada awak media, Rabu (4/7/2018).

Baca Juga :Polda Mulai Telisik Aset Firli dan Keluarga

Ditambahkannya, di samping kedua nama itu, KPK pun akan menghadirkan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2000-2001 Edwin Gerungan dan Ketua BPPN 2001-2002, I Putu Gede Ary Suta.

Adapun keempat nama itu belum lama ini telah diperiksa selama proses penyidikan kasus ini. Keempatnya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

Jaksa KPK sebelumnya mendakwa Syafruddin telah merugikan negara sekitar Rp4,58 triliun dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.

Tak hanya itu, jaksa pun mendakwa Syafruddin memperkaya Sjamsul lewat penerbitan SKL tersebut. Dalam dakwaan tersebut, dikatakan Bank Indonesia memasukan BDNI ke dalam program penyehatan bank di bawah pengawasan BPPN pada Februari 1998.

Berselang enam bulan, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh tim pemberesan yang ditunjuk BPPN, didampingi Group Head Bank Restrukturisasi. Dengan status BBO, BDNI mendapatkan BLBI Rp37 triliun pada 29 Januari 1999.

Kemudian, BPPN mendapati BDNI melakukan pelanggaran atas penggunaan BLBI. BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

Melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu sejumlah penasihat finansial, BPPN membuat neraca penutupan BDNI dan menghitung jumlah kewajiban yang harus dibayar sekitar Rp47 triliun.

Dari total itu, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus dibayarkan Sjamsul sebesar Rp28,4 triliun. Sebanyak Rp18,8 triliun sisanya dibayar memakai aset BDNI.

Adapun dari jumlah itu, sebanyak Rp4,8 triliun aset BDNI yang disita berupa piutang petambak plasma kepada PT Dipasena Citra Dermadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM).

Dari audit Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co piutang itu masuk kategori kredit macet. Sjamsul dianggap melakukan misinterpretasi atas nilai hutang petambak tersebut.

Lantas, BPPN memintanya menambah jumlah aset yang disita untuk menutupi kekurangan, tetapi dia menolak. Pada 22 April 2002 Syafrudin diangkat sebagai Kepala BPPN.

Dalam rapat 21 Oktober 2003, antara BPPN dan Itjih S. Sjamsul, Syafruddin selaku pimpinan rapat menyimpulkan Sjamsul tidak melakukan misinterpretasi karena memunculkan hutang petambak seolah hutang lancar.

Atas keputusan Syafrudin, BPPN kemudian melakukan restrukturisasi hutang petambak menjadi Rp3,9 triliun, dengan Rp2,8 triliun dianggap kredit macet dan sisanya Rp1,1 triliun sebagai hutang yang bisa ditagih.(ipp)

Sumber: JPG

Editor: Boy Riza Utama









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook