Di Kabupaten Sabu Raijua, jumlah pemeluk Islam hanya berkisar 300-400 jiwa. Masjid Jamik An-Nur juga menjadi satu-satunya rumah ibadah muslim di pulau ini.
Oleh Hary B Koriun
SETELAH selesai melaksanakan salat sunat setelah salat Jumat, 24 Mei 2019 lalu, lelaki itu bergegas keluar dari Masjid Jamik An-Nur, Seba. Rumahnya tak jauh dari masjid yang dibangun oleh Yayasan Muslim Pancasila era Orde Baru, tahun 1992 lalu. Hanya sekitar 100 meter. Langkahnya berhenti saat ditanya hendak ke mana.
"Saya mau ke Kantor Bupati untuk membicarakan rencana buka puasa bersama dengan beliau," kata lelaki itu. Dia kemudian mengurungkan langkahnya, dan duduk kembali di lantai yang beralas karpet sajadah.
Senin, 27 Mei, komunitas muslim Sabu Raijua berbuka bersama dengan bupati dan jajarannya. Ini akan menjadi peristiwa besar. Sejak Sabu Raijua berdiri sendiri menjadi kabupaten terpisah dari Kabupaten Kupang tahun 2008, inilah untuk pertama kali seorang bupati mengajak mereka buka puasa bersama. Acara itu diadakan di depan masjid.
Ada muatan politis? Lelaki itu, H Muhammad Yasin Al Boneh (64), hanya tersenyum. Dia berusaha memahami. Maklumlah, sebentar lagi akan ada suksesi. Bupati yang sekarang, Nikodemus Rihi Heke, adalah wakil dari Marthen Luther Dira Tome selama dua periode. Marthen ditangkap KPK pada 15 November 2016 lalu karena tersangkut kasus korupsi semasa dia masih menjabat sebagai Kabag Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan NTT. Nikodemus kemudian naik tahta.
Kata Yasin, ini sebuah "peningkatan" ketika bupati mau mendekat ke komunitas muslim. Karena populasinya kecil, hanya 0,70 % --Protestan menjadi agama mayoritas dengan 96,70 %, disusul Khatolik 2,60 %-- membuat muslim di Sabu tak diperhitungkan dalam banyak hal, termasuk politik. Padahal, selain keturunan H Ahmad Al Boneh yang beranak-pinak di Sabu, para pendatang muslim dari Surabaya, Lamongan, Demak, Solo, Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa, menjadi penambah populasi muslim di sana. Mereka kebanyakan para pedagang yang kemudian tinggal menetap.
"Tidak apa-apa meskipun bermuatan politik. Tapi paling tidak kami sudah dianggap ’ada’ di kabupaten ini," ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sabu Raijua ini.
Ketua Dewan Imam Masjid Jamik An-Nur ini bercerita, Islam masuk ke pulau ini dibawa oleh kakek buyutnya, H Ahmad Al Boneh. Dia seorang pedagang dari Pontianak (Kalimantan Barat), sekitar tahun 1888-an. Sebelumnya Ahmad Al Boneh berada di Belu, Pulau Timor, untuk berdagang. Ketika mendengar di Sabu banyak kuda dan ternak lainnya, dia kemudian berlayar dan menetap di sana. Tahun itu juga dia mendirikan surau kecil, yang menjadi cikal-bakal Masjid Jamik An-Nur sekarang.
Setelah Ahmad Al Boneh meninggal, syiar Islam dilanjutkan oleh sang anak, H Saleh Al Boneh, ayah Muhammad Yasin. Begitu selanjutnya, setelah sang ayah meninggal, Yasin-lah yang memikul tanggung jawab itu hingga kini. Sejak masa sang kakek buyut, asimilasi dengan penduduk setempat terus dilakukan secara perlahan. Ahmad Al Boneh menikah dengan penduduk asli Sabu. Keturunannya juga banyak yang mengikuti jejaknya melakukan kawin-mawin dengan penduduk setempat yang sudah beragama Protestan dan ada yang masih menganut aliran kepercayaan tradisional, Jingitiu.
"Tidak mudah syiar Islam di sini. Di luar Seba atau Kecamatan Sabu Barat, di kecamatan lain hanya ada satu-dua keluarga muslim di sana," ujar Yasin ayah lima anak ini.
Itu terlihat dari tetap kecilnya populasi muslim di Sabu. Penduduk asli Sabu tak banyak yang mau masuk Islam karena Protestan amat kuat. Yasin juga tak ingin terjadi konflik dengan agama lain. Maka, kawin-mawin antara orang Islam dengan penduduk setempat, menjadi jalan yang paling lazim dan alami. Sebab, baik penganut Protestan atau Jingitiu, tidak mempermasalahkan kalau umatnya pindah agama karena perkawinan. Mereka sangat menghormati pilihan itu.