Defisit Anggaran hingga Dukungan Pilpres
Salah satu keanehan yang kerap disebut-sebut terkait dukungan terhadap petahana adalah kondisi keuangan Riau saat ini yang defisit. Penyebab utamanya adalah adanya tunda salur dana bagi hasil minyak dan gas (DBH Migas). Jumlah utang pusat ke Riau itu mencapai Rp2,6 triliun. Sebanyak Rp1,6 triliun untuk kabupaten dan kota se-Riau dan Rp1 triliun untuk Pemprov Riau. Rincian untuk Pemprov Riau, DBH migas 2017 triwulan keempat Rp360 miliar dan 2018 Rp600 miliar. Itu belum termasuk kenaikan harga minyak dunia yang tengah meroket tajam. Riau memang penghasil minyak dan dana bagi hasil itulah yang ditunggu, tapi tak kunjung dicairkan.
Banyak program daerah yang tidak berjalan akibat tunda salur DBH migas ini. Proyek-proyek yang direncanakan dalam waktu panjang pun banyak yang ditunda, atau bahkan tak dilanjutkan. Belum lagi kegiatan yang dipangkas, honor yang ditiadakan, tunjangan yang tak dicairkan. Bahkan, akibat defisit anggaran pula, honorer daerah sudah mulai dirumahkan. Jumlahnya belasan ribu orang. Mereka tak diberikan honor berbulan-bulan dan opsi dirumahkan menjadi solusi berat yang harus dilakukan. Itu terjadi di hampir semua wilayah di Riau. Utang pemerintah berdampak pada jalannya perekonomian di daerah. Utang pegawai di warung pun ikut membengkak. Mantan Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman dan para stafnya sudah berulangkali melakukan lobi pencairan DBH migas ini, tapi tak kunjung terealisasi. Berbagai pendekatan seakan buntu.
Jelang era baru peralihan gubernur, alih-alih melakukan protes keras ke pusat, para kepala daerah di Riau, termasuk Gubernur Riau terpilih justru melakukan manuver sebaliknya. Mereka malah merapat dan memberikan dukungan nyata. Hal ini disayangkan tokoh masyarakat Riau Hj Azlaini Agus.
Azlaini menyebutkan, kalaulah karena mengharapkan pencairan dana itu yang memicu dukungan para kepala daerah di Riau kepada petahana, mereka sudah salah kaprah. Penundaan bayar DBH migas itu, ujar Azlaini, sesungguhnya merupakan bentuk kezaliman pusat kepada Riau.
"Itu kan hak masyarakat Riau. Kalau pusat tak memberikan juga, biar masyarakat Riau yang menuntut. Kenapa justru mereka membuat pilihan politik seperti itu?" tanya mantan Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia itu.
Suara Azlaini Agus
Pertanyaan Azlaini ini menyangkut pilihan politik para kepala daerah di Riau yang terkesan mengiba untuk mendapatkan DBH migas. Seharusnya, masyarakat Riau tak lagi diremehkan terkait hak-hak yang seharusnya diterima. Maka dukungan politik di tengah tekanan anggaran dinilai malah mengerdilkan Riau.
"Apalagi jika dikaitkan dengan dukungan politik," ujar mantan anggota DPR RI ini.
Selain soal lobi untuk DBH migas, ada juga spekulasi soal pemberian dukungan capres terkait dengan kemungkinan ancaman tidak akan dilakukan pelantikan terhadap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau terpilih Syamsuar-Edy Natar. Ini pun menurut Azlaini kurang beralasan. Sebab, di era demokrasi sekarang, pemerintah pusat tidak bisa menghalangi hak rakyat di daerah yang sudah menentukan pilihan mereka. Mungkin akan ada riak-riak kecil, akan tetapi rakyat di daerah bisa bergerak jika itu dilakukan pusat. Kondisi ini berbeda dengan zaman Orde Baru saat kepala daerah ditentukan pusat, kendati dengan bungkus pemilihan demokratis juga.
"Jadi apa yang dikhawatirkan," ujarnya.
Kemungkinan ketiga adalah tersanderanya beberapa kepala daerah dalam kasus hukum tertentu. Beberapa calon kepala daerah di Indonesia, diketahuinya memang sempat mengalihkan dukungan, tak jadi mencalonkan diri, atau berbalik mendukung calon lain saat kasus hukumnya diungkit. Ada tangan-tangan kekuasaan yang besar dan kuat yang bisa melakukan itu kepada kepala daerah atau calon kepala daerah. Hal ini diduga kuat kemudian berimbas pada dukungan capres. Kalau tak memberikan dukungan, maka akan diproses kasusnya, segera diperiksa. Kasus lamanya bisa dicari dan dituntaskan dengan cepat.
"Kalau tekanan pusat itu berlanjut terus seperti ini, maka ini merupakan kemunduran demokrasi," ujar Azlaini yang terkenal dengan julukan "Singa Betina dari Riau" ini.
Kumpul-Kumpul Berujung Dukungan
Pada Senin (8/10), kepala daerah di Riau berkumpul dan membincangkan sesuatu secara tertutup. Ada dugaan, kumpul-kumpul itu berkaitan dengan dukungan politik kepada Jokowi-Ma’ruf pada pilpres 2019. Akan tetapi sejumlah pihak membantah sinyelemen itu. Salah satunya tercantum dalam laman Facebook Pemko Pekanbaru. Dalam status di laman itu disebutkan bahwa pertemuan itu hanya membahas koordinasi bupati dan wali kota bersama Gubernur Riau dan Wagub terpilih Syamsuar-Edy Natar untuk pembangunan Riau ke depan. Tidak membahas soal politik. Bahkan Gubri terpilih Syamsuar pun sempat menampik isu pertemuan itu terkait dengan dukungan capres.
Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Siak, Yan Prana Jaya menyebutkan, pertemuan itu dimaksudkan untuk menghimpun aspirasi bupati dan wali kota se-Riau untuk penyusunan APBD 2019. Sebagai Gubernur Riau terpilih, Syamsuar yang saat ini masih merupakan Bupati Siak, bahkan sudah membentuk tim transisi. Tim ini menampung aspirasi juga dari kabupaten dan kota. Diklaim tidak ada agenda politik dalam pertemuan itu.
Tapi hal itu terbantahkan beberapa hari kemudian. Pada Rabu
(10/10), secara terbuka Projo Riau menginisiasi deklarasi dukungan
Capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf. Gubernur Riau terpilih, Syamsuar bersama
wakilnya Edy Natar langsung memimpin acara deklarasi. Hadir hampir semua kepala
daerah di depan publik. Selain Syamsuar yang juga Bupati Siak bersama Edy
Natar, hadir juga Wali Kota Pekanbaru Firdaus, Wali Kota Dumai Zulkifli AS,
Bupati Kampar Azis Zaenal, Bupati Rohil Suyatno, Bupati Bengkalis Amril
Mukminin, Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir, Bupati Inhil Wardan, dan Bupati
Kuansing Mursini.
Sedangkan Bupati Rohul Sukiman, Bupati Pelalawan M Harris, dan Bupati Inhu Yopi Arianto tidak tampak hadir di depan publik. Yopi Arianto diketahui sejak awal tidak pernah menghadiri kumpul-kumpul para kepala daerah itu dengan alasan sakit. Yopi disebut-sebut sedang berada di Jogjakarta untuk operasi sinus. Tapi, Gubernur terpilih Syamsuar mengklaim, Yopi ikut mendukung dan sejalan dengan kepala daerah lainnya. Sedangkan Sukiman dan Harris diduga hanya ikut menandatangani naskah deklarasi tapi tidak datang.
Kumpul-kumpul para kepala daerah ini berlanjut hingga ke Jakarta. Sebagai Gubernur Riau terpilih, Syamsuar memimpin para kepala daerah se-Riau bertemu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Selain melobi DBH migas yang tunda salur sebesar Rp2,6 triliun, Syamsuar dan para kepala daerah juga melobi pembangunan infrastruktur.
Staf Khusus Menko Kemaritiman, Supirman, menyebutkan, Luhut berjanji akan ikut memperjuangkan aspirasi para kepala daerah di Riau. Tapi kenapa Luhut? Sebagai orang yang sangat berpengaruh di pemerintahan saat ini, ternyata Luhut bisa memberikan garansi pembangunan di Riau ke depan akan terjamin. Akan jauh lebih baik. Garansi yang tentu bersayap dan bersyarat. Bahkan dia menjamin, pada APBN 2019, infrastruktur Riau akan ditingkatkan dari yang ada saat ini. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan bagi pergerakan ekonomi Riau yang dalam beberapa tahun terakhir seakan mandeg dan stagnan pada angka 2 persen, bahkan kurang. Padahal, Riau terbiasa dengan pertumbuhan di atas rata-rata nasional, yakni sekitar 7 persen. Luhut bahkan langsung menghadirkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam pertemuan itu, kendati sejatinya Kementerian PUPR tidak berada langsung di bawah Kemenko Kemaritiman.
"Pak Luhut memang langsung telepon Pak Basuki dan beliau langsung ikut dalam pertemuan," ujar Supirman.Apakah ini berkaitan juga dengan dukungan pilpres untuk Jokowi-Ma’ruf? Supirman yang juga deklarator Tim Cakra 19 (salah satu tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf) tak mau menanggapi ini terlalu jauh. Dia hanya menyebut, momentum ini penting bagi hubungan Riau dan pemerintah pusat.