JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Aktivis demokrasi dan juga pakar politik Ikrar Nusa Bakti mengkhawatirkan perjalanan Pemilu 2024 jika Mahkamah Konstitusi (MK) tidak independen. Presiden Jokowi harus diingatkan tentang perjalalan demokrasi yang akan mundur jika praktik politik dinasti tetap berjalan.
Ikrar yang ikut dalam Deklarasi Juanda, yang mengkritisi putusan MK soal umur capres/cawapres, mengatakan MK merupakan mahkamah tertinggi yang memutuskan apakah sebuah UU bertentangan dengan kostitusi (UUD) atau tidak.
Ikrar juga menuturkan, MK juga yang nantinya akan menentukan dan mengadili kasus-kasus yang terjadi dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, DPD, dan kepala daerah.
"Jika dalam penentuan (keputusan MK) siapa menjadi capres/cawapres banyak dipertanyakan orang bagaimana MK bisa dipercaya dalam memutuskan sebuah kasus pemilu yang akan datang," kata Ikrar.
Ditambahkannya, para pakar hukum banyak yang mempertanyakan putusan MK terkait dengan umur capres/cawapres.
“Kenapa gugatan (soal yang sama) ditolak, kenapa yang itu (gugatan umur capres/cawapres yang baru-baru ini diputus MK) diterima?. Kalau standingnya mahasiswa, memang dia mau menjadi wapres? tidak masuk akal,” imbuh Ikrar.
Dikabulkannya gugatan umur oleh MK, menurut Ikrar, tidak lepas dari adanya kepentingan politik yang menginginkan Gibran maju sebagai cawapres di Pilpres 2024. Dan keinginan memajukan Gibran ini akan terhalang aturan usia minimal 40 tahun.
"Makanya diduga adanya penyalahgunaan kekuasaan MK untuk memutuskan perkara umur ini. Terlebih, ketua MK adalah paman dari Gibran," papar dia.
Menrutnya, masyarakat tidak mau jika MK sebagai lembaga yang terhormat berperilaku seperti itu. Karena faktanya, salah satu hakim MK Saldi Isra bahkan mengatakan mengapa harus terburu-buru memutuskan gugatan soal umur capres.
"Memang sudah sepenting itu?" kata dia.
Ikrar juga menuturkan, masyarakat sangat berharap dengan semakin matangnya demokrasi di Indonesia akan bisa dicapai pada pemilu kesembilan sejak reformasi. Sedangkan Pemilu 2024 merupakan pemilu keenam sejak reformasi.
"Berarti masih ada tiga pemilu lagi yang akan membuat pemilu kita benar-benar membuat kita masuk demokrasi yang substansial yang matang," jelas Ikrar.
Jika pada pemilu keenam ini ada pemaksaan anak presiden menjadi cawapres, kata dia, maka demokrasi akan mundur jauh ke sebelum masa reformasi. Karena pada masa sebelum 1998 pun Pak Soeharto tidak pernah mengajukan anaknya menjadi capres/cawapres. Mbak Tutut hanya jadi menteri sosial.
"Kalau kita mundur lagi, kapan kita akan selesai bicara soal demokrasi," papar Ikrar.
Hal inilah yang membuat tokoh-tokoh demokrasi menyampaikan deklarasi di Juanda. Tujuannya mengingatkan Presiden Jokowi agar sadar.
"Bukan kita mau menentang Jokowi, tetapi kita ingin menyadarkan," ungkap dia.
Ikrar juga mengingatkan bahwa menjadikan Gibran sebagai cawapres bukanlah hal sederhana. Terlebih Jokowi masih menjabat sebagai presiden.
"Bayangkan jika anakmu bertanding untuk jabatan tertentu, dan kamu menjadi juri utamanya. Bagaimana bisa berlangsung netral. Jika Gibran maju maka lapangan berkompetisi itu tidak setara," kata Ikrar.
Jika pemilu keenam ini (Pemilu 2024) tidak bisa memperbaiki sistem, apalagi ada yang menjagokan anak presiden menjadi cawapres, menurut Ikrar, hal ini sudah sangat parah.
"Mudah-mudahan Pak Jokowi sadar. Namun tidak ada jaminan (Presiden Jokowi akan sadar)," kata Ikrar.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman