Ya, hari ini 28 Oktober, warga desa Tanjung Alai memperingati semacam ulang tahun kampung lama. Digelar beragam kegiatan di kampung baru yang menyiratkan aktivitas dan keseharian di kampung lama. Masa silam, sekarang dan akan datang. Supin mengaku cemas.
"Masalah ekonomi kami cemas untuk generasi mendatang, lahan sudah direndam, masyarakat tinggal di perbukitan, tandus, lahan pertanian tak ada, mengharapkan air dan tanah basah," ujarnya.
Ditambah sekarang menurut pengetahuannya, keputusan pemerintah tidak boleh buka lahan pindah-pindah, tak boleh membakar. Sementara warga kampung 70 persen hidup bercocok tanam.
"Kecemasan inilah yang muncul. Karet misalnya yang dipotong sekarang tak bisa bertahan lama, harus cari lahan baru. Kami berharap dengan cara apa kami bertahan pada ekonomi ke depan ini hendaknya jadi perhatian pemerintah," harapnya demi anak cucu.
Dari yang awalnya dulu berpencar-pencar, kemudian dipersatukan di sebuah kampung dan kemudian harus ikhlas meninggalkan kampung tersebut untuk hidup di penghidupan baru, memang bukan hal gampang. Ditambah kerinduan akan kampung halaman pun terus tumbuh lewat peringatan yang digelar dua kali setahun.
"Ya, kampung terlihat tiap air surut. Setahun bisa sampai tiga bulan lamanya. Itulah kadang kami berkunjung untuk mengenang dan berkisah pada anak cucu," katanya.
Ya, 2019 ini, sejak Agustus lalu hingga Oktober kampung Tanjung Alai muncul ke permukaan. Sedikit bagian kampung bisa terlihat jelas. Sisa bangunan pun bisa dijejaki. Jalan perkampungan lama sudah tertutupi rumput hijau. Tiang sebuah masjid yang pada awal penampakan masih ada kini telah roboh. Pohon-pohon mati masih tegak berdiri. Tanpa dedaunan. Berlumut menempel seakan tak ingin terpisah. Jejeran batu, sebuah pancang rumah belasan terlihat rapi membentuk formasi. Tiga atau empat tangga pun tersusun di hamparan tanah tak jauh dari tepian. Bukan di pantai. Kampung Tanjung Alai yang terendam tampak indah dan mempesona.
"Rumah saya di sana. Di sini pakai sepeda pergi mengaji ke surau," kata Iyal menunjuk tengah danau saat mendampingi Riau Pos menjejakkan kaki di kampung lama Tanjung Alai.
Iyal kini membawa perahu mesin. Sehari-sehari jika ada pengunjung dia menyeberangkan orang ke berbagai lokasi di sekitar danau PLTA Koto Panjang. Cenderung pehobi mancing dan orang yang ingin berwisata ke surga tersembunyi Gulamo.
"Ada yang mancing, sampai dua jam naik perahu. Ada yang ke wisata Gulamo, sekitar satu setengah jam," katanya.
Pria 40-an tahun berbadan gempal itu tampak asyik di ujung perahu. Menggunakan penutup kepala, Iyal sesekali melirik ke Saril di sisi belakang perahu. Mengisyaratkan agar kemudi di tangan Saril dipindahkan karena ada deretan kayu di depan. Dari bawah jembatan pertama PLTA Koto Panjang. Ya, jembatan pertama, Iyal dan Saril serta belasan pemilik perahu mesin lainnya menawarkan jasa. Kurang setengah jam membawa Riau Pos, kampung lama Tanjung Alai nyata di depan mata.
Perahu ditambatkan. Pohon-pohon hanya satu meter saja tanpa dedaunan. Daratan di tengah danau itu sekitar empat hingga lima kali lapangan bola. Bisa dilihat sebagai sebuah ujung perbukitan. Pinggang dan bawah perbukitan tetap terendam air danau.
"Sungai Kampar dulunya kecil saja melintas di sini. Ka tas sini pendakian. Seluruhnya ini kampung dulu," kisah Iyal memegang sisa bangunan.
Memang tak terlihat bangunan utuh di hamparan daratan tersebut. Namun sisa-sisa tiang dan tangga rumah masih jelas. Ada pekarangan. Tumpukan batu-batu memanjang.
"Kalau ini kuburan Pak," celetuk Iyal.
Desa Tanjung Alai merupakan satu dari 11 desa yang harus tenggelam dampak dari pembangunan proyek PLTA Koto Panjang pada 90-an silam. Delapan di antaranya masuk wilayah Riau, didominasi di sekitar XIII Koto Kampar. Tiga lainnya masuk wilayah Sumbar. Ada desa Muara Mahat, Pulau Gadang, Tanjung Alai, Batu Bersurat, Binamang, Pongkai, Koto Tuo, Muara Takus, Gunung Bungsu, Tanjung Balit, dan Tanjung Pauh. Dalam dokumen dari website resmi Walhi Riau, proyek dengan daya 114 Mega Watt (MW) tersebut menerangkan Riau dan potensi sungai-sungainya. Sungai Kampar adalah salah satunya, yang menjadi lokasi pembangunan dengan potensi mega daya listriknya dengan areal luasan 124 km persegi. Meliputi Provinsi Riau dan Sumbar dengan total kepala keluarga (KK) yang harus direlokasi sejumlah 3.637. Terdiri dari 14.625 jiwa.
Iyal bersama belasan pemuda Desa Tanjung Alai, mengisi hari-harinya dengan memanfaatkan kekayaan kampung halaman. Danau Rusa PLTA Koto Panjang nan kaya sejak dulunya, kini dimanfaatkan Iyal untuk menjual jasa wisata dan memancing. Membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis).
"Kalau kampung lama muncul paling lama dalam setahun ya sekitar tiga bulan. Nanti hilang lagi. Tentulah (rindu, red)," katanya.
Setelah kerap muncul kampung lamanya, masyarakat Tanjung Alai punya asa tersendiri. Pokdarwis bersama pemerintahan desa berupaya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki. Salah satunya mencari bantuan investor atau program-program bantuan kepedulian sosial.
Kepala Desa Tanjung Alai, Zulpan Alwi yang juga anak salah seorang tokoh kampung lama mengakui, tahun ini kembali digelar peringatan 25 tahun pemindahan kampung halamannya. "In sya Allah 28 Oktober ini kami laksanakan di kampung baru, memperingati kampung lama," kata Zulpan.
Upan, sapaan akrabnya bagi warga kampung mengatakan, pihaknya sudah membentuk pokdarwis bernama Muagho Gulamo. Selama ini menurutnya salah satu yang membantu kelompok ini adalah program CSR dari Bank Indonesia.
"Dari objek wisata Gulamo yang dikembangkan dari sebelumnya ratusan pengunjung, kini sampai ribuan per tahunnya. Kami minta juga di kampung lama ini melalui proposal ada dukungan dana CSR untuk pemberdayaan masyarakat. Ini terus kami koordinasi," bebernya.
Menurutnya setelah bolak-balik ke Pekanbaru mengurus dukungan dimaksud, akhir tahun ini pihak dimaksudnya siap membantu masyarakat membuat objek wisata baru di Danau Rusa. Menariknya, rencana yang disiapkan adalah menghidupkan kembali kampung lama dengan membuat sebuah homestay yang cukup tinggi.
"Ke depan akan membuat rumah Gonjong, karena rumah datuk bosau (tetua adat mereka, red) ingin dihadirkan kembali. Jadi akan ada rumah, ya mungkin bisa dibilang homestay, berbentuk dari persukuan masing-masing kampung lama," ungkapnya. Dijelaskan Upan, tokoh masyarakat dan seluruh masyarakat Tanjung Alai sudah menyambut baik rencana tersebut. Sembari menunggu dukungan dana dari bantuan dimaksudnya, Upan berharap kampung lama dapat tetap hidup di tengah-tengah masyarakat dalam wujud apapun kelak.***