"Diadakanlah pertemuan, di bawah sebuah kayu, di ujung sebuah tanjung, kayu sebatang namanya kayu alai," sambungnya.
Karena alasan lain juga mengingat ketika itu, Sungai Kampar sering meluap. Banjir merendam kampung-kampung. Dari hasil pertemuan pula didapat keputusan mencari tempat tinggi.
"Mufakatnya nama Tanjung Alai pun diterima seluruh yang hadir," yakinnya.
Ketika itu diakui Supin memang masyarakat hidup berjarak satu kampung dengan yang lain. Sampai berjarak 10 km ke dalam hutan. Ketika itu bertani dan berladang, beternak dilakoni dengan damai. Dengan harapan supaya ekonomi dapat dipenuhi.
"Diaturlah lahan-lahan asal jangan bercampur aduk. Semua diatur baik-baik. Semua berjalan damai, tentram," kenangnya dengan tatapan mulai menjauh.
Singkat cerita, Supin memotong keheningan. Suara kendaraan roda empat di penurunan PLTA jelang jembatan tampak melambat. Truk besar mengeluarkan suara rem khasnya. Tahun 80-an ketika itu, sambung Supin, muncul program pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Melayani listrik masyarakat luas konon kabarnya diterima warga desa informasi yang sampai ke telinga mereka. "Kepala desa ketika itu sosialisasikan ke masyarakat. Karena cerita didengar baik, tidak merugikan, masyarakat setuju, didatalah kami," ujarnya.
Berjalan 10 tahun prosesnya, masyarakat pun menerima ganti rugi. Tahun 1994 mereka mulai pindah ke lokasi baru dan meninggalkan kampung kelahiran. Tanah subur kaya cerita dan kenangan. "Sekarang? Ya, rindulah," senyumnya memaknai sebuah kenangan terhadap kampung kelahiran.
Dikatakan Supin, juga didengar warga lain yang berbincang ketika itu, setelah sampai di kampung baru, menurutnya seluruh yang dipindahkan mendapat jatah hidup. Kemudian seiring waktu mulai bercocok tanam dan membuka ladang baru.
"Memang baru mulai terasa ekonomi sedikit sulit," akunya.
Namun satu tahun setelah pindah, dia pun bersama warga lain mulai merasakan listrik menyala. Supin bersama warga desa Tanjung Alai lain pindah ke sebuah perkampungan baru di atas bukit. Tak jauh dari jembatan pertama PLTA Koto Panjang.
Menurutnya setelah seperempat abad pindah dari kampung lama ke kampung baru, dia ingin menyimpan memori sejarah bagi anak cucu. Karena Tanjung Alai sudah beratus tahun umurnya. Dan sepanjang hidupnya, di kampung baru sudah 24 kali ulang tahun kampung lama digelar.
"Dua kali setahun, 9 Syawal dalam keagamaan. Ulang tahun itu secara adat, 28 Oktober digelar," katanya.