Azrai merasa lebih beruntung dibanding beberapa kawannya yang lain. Istrinya, Sri Handara, seorang bidan yang bekerja sebagai tenaga suka rela (TKS/istilah untuk pegawai honor) di sebuah Puskesmas di Medang Kampai, Dumai. Meski pendapatan istrinya juga tak besar, tetapi digabung dengan pendapatannya, cukup untuk hidup bersama dua anaknya, Azri (8 tahun) yang sudah kelas 2 SD, dan Zira (5) yang sudah masuk TK.
Dia harus membayar sewa rumah petak sebesar Rp700.000 per bulan. Itu belum termasuk bayar listrik, uang sekolah dua anaknya, dan segala kebutuhan hidup lainnya.
Di lapangan, saat melakukan operasi pemadaman, seperti saat di Rupat dan di tempat lain, ada dana operasional. Dana itu didapat sebagai dana “lebih” setelah digunakan untuk membeli segala kebutuhan operasional. Mulai dari sembako, rokok, kopi, plus minyak untuk mesin dan kebutuhan lainnya. Jumlahnya juga tidak banyak. Dana “lebih” itu sekitar Rp2.500.000, dibagi untuk satu regu (14 orang). Memang sangat kecil.
Saat sebulan penuh berada di Rupat, ada angin segar bahwa mereka akan mendapatkan insentif Rp150.000 per hari. BPBD Riau yang menjanjikan. Namun sampai pemadaman selesai dan mereka sudah keluar dari Rupat, termasuk sudah melakukan pemadaman sebulan di Dumai, dana itu belum keluar juga.
Untuk jaminan pekerjaannya, hingga kini mereka juga belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, dalam aturannya, mereka seharusnya didaftarkan dan dibayarkan oleh lembaganya.
“Yah, kalau mau menuntut, kepada siapa? Mestinya sejak lama hal-hal seperti ini sudah ada yang memikirkan. Itu yang saya bilang tadi, bekerja jadi pemadam itu harus menganggap sebagian sebagai kerja ibadah,” katanya dengan suara yang berusaha dipelankan, tetapi terdengar pilu di telinga.
Hari sudah semakin sore. Abdul Muthalib, sang komandan regu (Danru) dalam operasi pemadaman ini, memberi isyarat agar mereka segera mengemas seluruh peralatan. Azrai kemudian menggulung selang. Dibantu Herman dan Johan. Di seberang parit, di sebuah rumah bedeng sederhana yang nampaknya ditinggal pemiliknya, Abdul Muthalib dan yang lainnya sudah berkumpul. Tak jauh dari mereka, ada beberapa motor jenis trail-penjelajah. Juga ada dua mobil operasional berwarna oren. Jenis Strada gardan dobel yang bisa digunakan di medan-medan sulit.
Setelah selesai menggulung selang menjadi bulat sebesar lingkaran ban mobil, Azrai, Johan, dan Herman bergabung dengan rombongan. Mereka harus meniti sebuah kayu balok tunggal berwarna kehitam-hitaman –bekas terbakar-- yang dijadikan jembatan di atas parit itu. Azrai memegang selang seorang diri. Johan dan Herman menenteng mesin penyedot air berdua.
Setelah ketiganya bergabung, mereka, semua personel satu regu itu, kemudian berdoa sejenak. Mengucapkan terima kasih kepada Tuhan bahwa usaha mereka seharian pada hari itu berbuah hasil.
***
BARU pukul 09.30 WIB, tetapi panas di Kota Dumai terasa terik sekali. Di beberapa bagian, langit dumai terlihat tertutup asap. Terutama di wilayah Medang Kampai dan sekitarnya. Di sana, kebakaran lahan masih berlangsung.
Di dalam sebuah ruangan kelas di SMA/SMK PGRI Dumai itu, terdengar Wakil Komandan (Wadan) Regu 2 Manggala Agni Daops Dumai, Syafrudin, sedang berbicara tentang pentingnya penanggulangan kebakaran. Hari itu, Kamis, 11 April 2019, Manggala Agni KLHK Wilayah Sumatra Daops Dumai sedang melakukan sosialisasi pencegahan karhutla untuk kalangan milienial, yakni kepada puluhan siswa-siswi di sekolah tersebut.
“Penyebab karhutla 99 persen adalah karena ulah manusia. Disengaja atau tidak,” terdengar suara Syafrudin dari dalam kelas.
Di luar kelas, di lapangan basket, Komandan Regu 1 Manggala Agni Daops Dumai, Rahmad, bersama beberapa rekannya, sedang mempersiapkan peralatan pemadaman untuk praktik pengenalan peralatan dan teknik pemadaman kering. Ada mesin penyedot air, selang sepanjang 60 meter, dan nozzle.
Setelah Syafrudin selesai sosialiasi oral, dia kemudian mengajak siswa-siswi yang kebanyakan dari Kelas XI Teknik Pengeboran SMK PGRI tersebut untuk ikut praktik pengenalan peralatan dan teknik pemadaman tanpa air tersebut. Dengan tangkas, Rahmad dan beberapa pemadam lainnya mempraktikkan teknik yang mereka kuasai. Bagaimana memasang selang ke mesin penyedot, melemparkan gulungan selang agar memanjang dengan benar, memasang nozzle di ujung selang, termasuk posisi yang benar saat melakukan penyemprotan.
Jusman, Kepala Manggala Agni Daerah Operasional (Daops) Dumai, sejak tadi memantau apa yang dilakukan anak buahnya itu. Dari tadi dia mampak keluar-masuk ruangan sosialisasi, lalu ke lapangan memberi arahan kepada mereka yang sedang mempersiapkan praktik pemadaman dan pengenalan alat untuk siswa.
“Tujuan kami ke sini, agar para siswa-siswi ini paham bahayanya kebakaran dan tahu bagaimana mengoperasikan alat pemadam ini. Ini jika sewaktu-waktu kondisi sangat mendesak, mereka bisa membantu para pemadam ini,” kata lelaki 56 tahun itu.
Jusman sadar apa yang dipahami masyarakat bahwa yang paling penting dalam pekerjaan Manggala Agni adalah memadamkan api. Yang diketahui masyarakat secara luas memang begitu. Padahal, katanya, pencegahan juga teramat penting. Karena 99 persen penyebab kebakaran --baik hutan maupun lahan-- adalah faktor manusia, maka, kalau semua manusia sadar akan bahayanya kebakaran, pasti mereka tidak dengan sengaja membakar lahan atau hutan. Juga, akan menjauhkan hal-hal yang menyebabkan hutan itu terbakar secara tidak sengaja. Misalnya tidak membuang puntung rokok secara sembarang. Atau malah tidak merokok sama sekali.