Eko Nugroho adalah satu dari sekian banyak orang yang bukan penduduk asli Sabu Raijua yang bekerja dan berjuang untuk daerah ini. Dia mengabdi dan berharap Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi daerah yang maju suatu hari nanti.
Oleh Hary B Koriun
SAYA tahu nama Eko Nugroho setelah disebut oleh Jefrison Hariyanto Fernando alias Nando, dalam beberapa kali pertemuan. Eko adalah relawan dari Program Indonesia Mengajar yang ditempatkan selama setahun di Pulau/Kecamatan Raijua. Di sela waktunya mengajar di sekolah, Eko juga mengajarkan dan memperkenalkan bahasa Inggris kepada anak-anak di taman bacaan yang dikelola Nando, yakni di Komunitas Generasi Peduli Sesama (GPS).
Eko menjadi idola di sana. Anak-anak sangat mencintainya. Ketika Program Indonesia Mengajar sudah selesai dan dia harus meninggalkan Raijua, banyak anak-anak yang menangis, berharap dia tetap berada bersama mereka.
Saya berusaha menemui Eko dalam beberapa kali janjian. Ketika itu dia sudah berada di Sabu setelah programnya selesai di Raijua. Dia dan teman-temannya sedang persiapan kembali ke Kupang, dan setelah itu ke Jakarta, lalu kembali ke kampung halaman masing-masing. Akhirnya, setelah menunda beberapa kali pertemuan yang sudah disepakati, kami bisa bertemu pada Kamis, 16 Mei 2019, di sebuah penginapan yang jadi tempat tinggal sementara di Sabu sebelum ke Kupang.
Ketika ketemu, saya terkejut karena dalam bayangan saya, sosok Eko Nugroho itu adalah stereotipe lelaki tangguh dengan badan tinggi besar. Ketangguhan di tanah gersang Raijua yang sering diceritakan Nando. Namun, ternyata bayangan saya keliru. Eko seorang dengan penampilan biasa saja, badan yang lebih kurus dari yang saya bayangkan. Tetapi saya tahu, lelaki ini amat tangguh dalam menaklukkan hati anak-anak di Raijua, tempat dia mengabdi.
“Saya mendengar nama Mas Eko dari Nando. Dia juga yang memberi saya nomor kontak sehingga saya bisa menghubungi Mas Eko,” kata saya memperkenalkan diri.
Dia hanya tersenyum, kemudian, “Iya Mas, terima kasih sudah menghubungi saya. Bang Nando adalah orang yang luar biasa. Dia melakukan apa yang orang tak melakukan di Raijua,” katanya kemudian.
Kami kemudian terlibat dalam obrolan yang panjang. Baik yang ringan maupun yang serius, misalnya tentang bagaimana dia berjuang melawan segala keterbatasan di Raijua.
Eko lahir di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 8 Agustus 1995. Namun setelah lahir, orangtuanya pindah ke Boyolali. Dia menamatkan SD hingga SMA di Boyolali, sebelum kemudian kuliah di Jurusan Bahasa Inggris FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Setelah tamat kuliah, dia mengajar di beberapa sekolah swasta.
Awalnya dia tak pernah terpikir akan berada di sebuah pulau terpencil dengan ekonomi masyarakat yang sangat sulit seperti di Raijua. Sebab, ketika itu, dia merasa, dengan kemampuan berbahasa Inggris, dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di kota. Namun, ketika dia mendapat tugas magang mengajar di sebuah sekolah di desa saat masih kuliah, membuka matanya bahwa masih banyak anak-anak desa yang membutuhkan pendidikan.
Eko yang ketika kuliah masih terpikir bahwa hal-hal yang berhubungan dengan asing itu hebat, luluh hatinya. Dia ingin anak-anak Indonesia bisa pintar dan tak tertinggal. Dari sana tergerak hatinya, dia ingin mengabdi di desa, di mana pun.