Eko sangat salut dengan perjuangan anak-anak Raijua yang mau bersekolah. Suatu hari, dia kaget ada beberapa anak yang selalu telat datang ke sekolah. Tidak sesuai dengan jam masuk kelas yang sudah ditetapkan. Ketika dia bertanya, si anak bilang kalau rumahnya jauh dari sekolah. Dan yang membuat dia juga heran, anak-anak itu saat sampai di sekolah tidak memakai baju. Bertelanjang badan. Ketika sampai sekolah, bajunya baru dipakai. Ketika ditanya mengapa, katanya kalau mereka pakai baju ke sekolah, karena berjalan jauh, bajunya akan basah oleh keringat dan kotor oleh debu di jalan. Eko bertanya, berapa jarak rumah dengan sekolah. Mereka bilang 6-7 kilometer! Eko terkejut, dia setengah tak percaya.
Untuk membuktikan omongan anak-anak itu, dia pernah mengikuti mereka saat pulang ke rumah. Benar, jarak rumahnya dengan sekolah memang sangat jauh. Dan, satu lagi, anak-anak itu tidak mandi pagi saat pergi ke sekolah. Tak ada air bersih yang bisa digunakan untuk mandi.
“Saya sangat sedih dan prihatin dengan kondisi itu. Tapi inilah kenyataannya. Akhirnya saya yang harus menyesuaikan dengan kondisi seperti itu di Raijua. Sungguh, selama setahun saya tinggal di sana, saya bahagia bisa membantu anak-anak di sana belajar. Baik saat ngasih les tambahan agar yang belum bisa membaca menjadi bisa, atau mengajar bahasa Inggris di sekolah maupun di taman bacaan GPS,” jelas Eko dengan mata berkaca-kaca.
Jika saja program ini terus berlanjut dan tak hanya satu tahun di masing-masing daerah tempatan, dia pasti senang bisa tinggal lama bersama anak-anak di Raijua dan membantu mereka belajar. Namun, katanya, hidup harus terus berlanjut. Jika dia punya uang banyak dan Yayasan Indonesia Mengajar mau membiayai dia lebih lama tinggal di sana, dia pasti akan tetap tinggal.
Sayangnya, program ini tidak memungkinkan satu kabupaten mendapatkan program yang sama. Berpindah-pindah ke kabupaten yang lain setiap tahunnya. Eko tidak sendirian dalam program ini Kabupaten Sabu Raijua. Termasuk dirinya, ada enam relawan yang dikirim ke kabupaten ini. Eko bersama Nurul Aisyah di Kecamatan Raijua, kemudian Sindi Aneke di Sabu Liae, lalu Muhammad Sidargo dan Aditya Erlangga di Hawu Mehara, dan Suryani di Sabu Timur.
Setelah program ini selesai, dia tetap bercita-cita menjadi guru di pedalaman di luar Jawa. Katanya sepelosok-pelosoknya di Jawa, masih banyak orang yang bisa dan mau dikirim ke sana. Tetapi di luar Jawa, terutama di Indonesia Timur, masih banyak daerah yang tak terjangkau dan tak banyak orang yang mau ke sana untuk berbagi ilmu. Namun dia ingin melanjutkan studi dulu, S2, sambil mengajar di SMP atau SMA dulu sebelum benar-benar mengabdikan hidupnya di daerah pedalaman di luar Jawa itu. Sayangnya, katanya, seorang relawan di Indonesia Mengajar hanya boleh sekali ikut program.
Jika tidak, “Saya ingin selamanya menjadi relawan di program ini,” ujar Eko. Dia sudah terlanjur mencintai anak-anak di Raijua.
Dia sangat berharap pemerintah Provinsi NTT maupun pemerintah pusat membuat program yang tepat guna untuk menanggulangi kekeringan yang berkepanjangan, juga program lainnya yang bisa membuat masyarakat Raijua, juga Sabu, tidak iri dengan pembangunan di daerah-daerah lain di Indonesia Barat yang memang lebih maju dan cepat responnya jika ada masalah. (bersambung)