Ketika mendengar ada Program Indonesia Mengajar, dia kemudian ikut. Dan lulus. Ketika mendapatkan daerah penugasan di Raijua, dia sudah membayangkan betapa sulitnya kehidupan di sana. Tetapi dia berusaha keras untuk melawan kesulitan itu, dan berusaha mencintai pilihannya itu.
Eko ditempatkan di SD Negeri 2 Desa Ledeke, Kecamatan Raijua. Dia sampai di sana pada Mei 2018. Sesuai kemampuannya, dia membantu mengajar mapel bahasa Inggris, juga membantu peningkatan kualitas guru dengan terlibat dalam Rubi (Ruang Berbagi Ilmu) sebagai fasilitator. Ini adalah salah satu cara agar guru-guru SD mampu mengajar dengan baik. Dia juga ikut menjadi fasilitator di taman bacaan dan tempat bermain anak-anak, GPS, yang diinisiatori oleh Nando.
Hidup di Raijua memang berat. Eko sangat menyadari itu.
“Setiap hari saya harus jalan kaki pergi dan pulang dari tempat tinggal saya di dekat Kantor Camat Raijua menuju Ledeke sepanjang 6 km,” katanya.
Itu belum seberapa. Di saat musim kering tiba, dia harus bekerja keras mencari sumber air dengan memikul dua ember di pagi hari sebelum berangkat mengajar. Jarak sumber air dengan tempat tinggalnya itu sekitar 500 meter. Setelah itu baru jalan kaki ke sekolah.
Sebelum sampai di Raijua, dia tak pernah terpikir harus mengalami kesulitan air seperti ini. Tidak hanya dia, seluruh masyarakat Raijua memang kesulitan air. Bahkan, kata dia, di Desa Bolua, ada masyarakat yang harus antri air di sebuah sumur dengan sumber air kecil. Setelah air diambil oleh dua orang, masing-masing dua ember, air langsung habis. Maka pengantri keempat dan selanjutnya, harus menunggu 2-3 jam lagi sampai air terkumpul kembali.
Desa Bolua memang salah satu desa yang terparah di saat musim kemarau tiba. Ketika ke Raijua, saya datang ke Ledeke dan Bolua. Kondisinya memang memprihatinkan. Berada di tempat yang tinggi, dengan tanah penuh batu karang, meski tetap ada sela-sela yang bisa ditanami jagung, sorgum, atau kacang hijau.
Karena sayur-sayuran dan bahan makanan seperti beras tak bisa ditanam di Raijua, penduduk pulau ini, sangat tergantung dengan kapal-kapal pengangkut beras dan kebutuhan hidup lainnya yang datang dari Makassar, Ende, Kupang, Alor, Sumba, dan daerah lainnya yang menghasilkan beras dan sayur. Pernah suatu kali, saat angin timur datang dan gelombang laut naik, masyarakat Raijua kekurangan pasokan beras dan sayuran. Akhirnya, mereka harus berhemat dengan beras, dan tak makan sayur-sayuran selama lebih sebulan.
“Itu kondisi yang sangat berat. Bagi masyarakat Raijua mungkin sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu, tapi bagi saya yang baru merasakan, terasa sekali,” ujarnya.
Eko berusaha hidup senang dan bahagia di tengah keterbatasan ini. Menurutnya, agar tetap tenang dan bahagia itu, maka hal utama yang dilakukan setiap hari adalah mencari air, setelah itu baru menjalankan kreativitas sehari-hari. Mengajar di SD 2 Ledeke dan yang lainnya, termasuk setiap Rabu mengajari anak-anak bahasa Inggris di GPS.
Dia mengaku bersyukur karena seluruh kebutuhan hidupnya dicukupi oleh Yayasan Indonesia Mengajar. Oleh sebab itu, seluruh kegiatan yang dilakukannya di sana gratis, tak memungut bayaran satu rupiah pun. Yayasan Indonesia Mengajar memang tidak memperbolehkan relawannya mendapat bayaran apa pun dari masyarakat.
Saat pertama kali sampai di sekolah –sebenarnya jumlah guru di sana cukup, tetapi yang khusus bahasa Inggris memang kurang-- dia sedih karena banyak anak kelas 3, 4, atau bahkan 5, yang belum bisa membaca. Dia tak menyalahkan guru-guru yang ada di sekolah itu. Tapi dia berusaha mencari jalan keluarnya agar anak-anak ini cepat bisa membaca.
Dia kemudian mengusulkan akan memberi les tambahan kepada anak-anak yang belum membaca ini di luar jam sekola, yakni setelah anak-anak yang lain sudah pulang. Awalnya usulannya ini banyak ditentang oleh orangtua anak-anak. Maklumlah, di Raijua, banyak anak-anak yang setelah pulang sekolah harus membantu orangtuanya. Baik ke ladang, mencari kayu bakar, atau mencari air bersih.