Masalah kejiwaan ibarat fenomena gunung es. Rasionya, dari 30 penderita gangguan jiwa, hanya satu yang bisa dirawat secara medis di Riau. Rumah Sakit Lancang Kuning Pekanbaru mengambil peran tidak populer dengan membuka layanan kejiwaan itu. Harus ada keseimbangan antara merawat jasmani dan rohani.
Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru
“MINTA rokok, Pak!”
Seorang pria mendekat. Langkahnya terhenti karena terhalang pagar besi yang dipasang hingga sepenuh sisi luar ruangan. Beberapa pria lainnya juga datang mendekat ke sisi pagar. Hampir sepuluh pria memenuhi sisi pagar. Beberapa tangan mereka tengadah. Penuh harap.
“Rokok sebatang Om,” ujar pria lainnya.
Suara mereka bersahutan. Mereka merupakan para pasien kejiwaan. Beberapa di antaranya mengalami gangguan jiwa berat. Bahkan ada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dulunya mengamuk hingga dipasung oleh keluarga dan warga sekitar. Di tempat ini, mereka dirawat. Tempat para pria ini dirawat berada di sisi luar bagian barat Rumah Sakit (RS) Lancang Kuning Pekanbaru. Sebuah rumah sakit swasta yang kini sebagian besar sahamnya dimiliki Dompet Dhuafa.
Beberapa di antara mereka ada yang pernah masuk dan keluar rumah sakit ini. Tapi ada juga yang kendati sudah dinyatakan sembuh, tapi tetap tidak diterima lingkungannya. Misalnya Fir (40), asal Buluh Cina, Kabupaten Kampar.
“Entahlah. Saya baik-baik saja,” ujar Fir kepada Riau Pos, Jumat (23/12).
Fir bercerita dengan lancar. Beberapa bagian ceritanya memang masih melantur. Tapi banyak juga yang jelas dan konkret. Fir misalnya bercerita menamatkan sekolah dari SD hingga SMA. Dia bahkan menyebutkan detail sekolah, lokasi, dan kapan menamatkannya.
Soal kenapa dia seperti kondisi sekarang, dia kembali mengaku baik-baik saja. Tapi ceritanya tentang pernah belajar ilmu bela diri, menjadi asisten guru untuk sebuah perguruan silat kebatinan bernama PS, hingga kemampuannya bisa mengobati orang secara kebatinan, menjadi benang merah tentang kondisinya sekarang. “Putus urat saraf” karena kaji terlalu tinggi.
Fir bahkan sudah mulai masuk ke RSJ Tampan sejak masih berumur 19 tahun, pada 2001. Sejak saat itu, dia bolak-balik rumah sakit pemerintah itu. Sampai kemudian dia tiba di RS Lancang Kuning. Dia pun dinyatakan sembuh dan dikembalikan kepada keluarga. Tapi warga justru menolak kehadirannya.
“Sekarang warga di sana tidak menerima. Dia memohon biar di sini saja. Jadi kami perbantukan juga di sini apa yang bisa dia bantu,” ujar Kepala Ruangan RS Lancang Kuning, Nandi.
Menurut Nandi, Fir ditemukan pihaknya dalam keadaan terpasung. Masyarakat membuatkan semacam rumah khusus baginya jauh dari kawasan penduduk. Kakinya dirantai. Fir sendiri mengaku tak paham kenapa dia dipasung. Tapi dia sempat menceritakan tentang penolakannya tentang mulai terbukanya kampungnya untuk pariwisata. Dia khawatir akan banyak turis asing yang datang dan hanya menggunakan celana dalam saja. Dia khawatir kampungnya jadi tempat maksiat.
“Nanti mereka, turis dari Amerika, Eropa itu pakai kolor saja di sini,” ujarnya.
Namun demikian, dia belum melihat turis asing seperti kekhawatirannya. Turis asing datang, tapi dengan pakaian biasa. Tapi beberapa kali dia mengaku sempat berkonfrontasi dengan penduduk. Terjadi bentrok dan dia sempat mengamuk.
RS Lancang Kuning sendiri menerima Fir dengan rekomendasi dari puskesmas setempat dan koordinasi dengan Dinas Sosial Kampar. Sebab, Kemensos RI saat ini memang sudah memiliki program bebas pasung.
Direktur RS Lancang Kuning, dr Pradipta Suarsyaf menyebutkan, terdapat beberapa pasien yang dipasung, yang kemudian dirawat di RS Lancang Kuning. Selain dari Kampar, ada juga dari Siak, Rokan Hulu, dan Indragiri Hulu. Pelepasan pasung dilakukan dengan dramatis. Bahkan menggunakan mesin las karena pasungnya sulit dibuka.
“Yang dari Kampar ini sebenarnya diterima keluarga. Tapi warga yang menolak. Jadi ada semacam stigma bagi ODGJ ini,” ujar Pradipta.
Paviliun VIP yang Urus ODGJ
RS Lancang Kuning yang dipimpin Pradipta merupakan rumah sakit umum. Banyak yang menduga, RS ini adalah milik pemerintah, padahal tidak. RS Lancang Kuning awalnya bernama Paviliun Lancang Kuning di bawah Yayasan Soebrantas. Lokasinya berada di Jalan Mustika Pekanbaru, berdampingan dengan RSUD Arifin Achmad. Awalnya, Paviliun Lancang Kuning merupakan fasilitas kesehatan elite di tengah keterbatasan fasilitas RSUD (sekarang RSUD Arifin Achmad) saat itu yang memang milik pemerintah. Mirip fasilitas VIP di RS BUMN seperti Pertamina. Fasilitasnya serbamodern dan lengkap di zamannya. Sebab, diinisiasi oleh Gubernur Riau zaman itu Soebrantas. Dananya dari sumbangan pengusaha sawit di Riau.
Fasilitas kesehatan ini kemudian pindah ke Jalan Ronggo Warsito ujung karena lahan yang dipakai selama ini memang milik pemerintah. Sejak 2005, dan pindah, Paviliun Lancang Kuning berubah menjadi RS Lancang Kuning. Umurnya sudah 17 tahun. Jika dihitung sejak Paviliun Lancang Kuning, maka umurnya sudah 25 tahun. Paviliun Lancang Kuning sudah berdiri sejak 1997.
Kiprah RS Lancang Kuning mengurus penyakit jiwa dimulai sejak jauh hari. Ada beberapa dokter senior seperti dr Taswin Jacob yang merupakan spesialis saraf, dr Darisman, spesialis jiwa yang bertugas di RS Lancang Kuning di awal berdiri. Rumah sakit ini memang awalnya rumah sakit umum. Tapi karena pasien dr Darisman sebagai spesialis kejiwaan cukup banyak, maka diputuskan membuat rawat inap kejiwaan. Ada 20 tempat tidur yang disiapkan di awal. Selain itu, layanan umum tetap ada.
“Sekarang jadi 50 tempat tidur,” ujar Pradipta.
Jumlah tempat tidur untuk pasien kejiwaan bahkan nyaris separuhnya. Dari 105 tempat tidur rawat inap di rumah sakit ini, 50 di antaranya untuk kejiwaan. Sisanya pasien umum. Langkah rumah sakit swasta ini memang tidak biasa di tengah bertumbuhnya rumah sakit swasta di Pekanbaru. Hanya RS Lancang Kuning dan RS PMC, rumah sakit swasta yang memiliki layanan rawat inap kejiwaan dari 76 RS swasta di Pekanbaru.
Sejak diambil alih manajemennya oleh Dompet Dhuafa pada 2017, dengan kepemilikan saham mayoritas yakni 35 persen, program rumah sakit yang berkaitan dengan masyarakat miskin ditingkatkan. Termasuk layanan untuk ODGJ yang kebanyakan merupakan masyarakat ekonomi lemah. Beberapa di antaranya merupakan orang telantar. Hanya saja, pihak rumah sakit tidak bisa mengambil begitu saja orang telantar di jalan.
“Harus ada koordinasi dengan dinas sosial setempat. Jadi mereka didata dulu, dari mana asalnya. Kalau jelas, baru kami rawat. Sebab kalau kami ambil langsung, maka kami bisa dituduh menculik orang,” ujar Pradipta.
Fenomena Gunung Es
Penderita penyakit kejiwaan ini sebenarnya seperti fenomena gunung es. Sedikit kelihatannya, sesungguhnya sangat banyak. Mereka yang dirawat juga masih sangat sedikit.
Menurut Pradipta, pasien gangguan jiwa ini sebenarnya jauh di atas angka mereka yang bisa dirawat secara medis. Data dari profil kesehatan Riau 2020, jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 9.000 orang. Data Dinas Kesehatan Riau lebih konkret. Saat ini ada 9.300 orang yang mengalami gangguan jiwa berat di daerah ini.
Data itu masuk ke puskesmas di Riau yang jumlahnya 300 puskesmas. Rata-rata satu puskesmas menerima 30 lebih pasien. Di daerah bahkan lebih banyak lagi, bisa 40 orang per puskesmas, sementara di kota antara 20 hingga 30 orang.
Hanya saja yang tertampung dan dirawat masih tidak maksimal. Rumah Sakit Jiwa Tampan hanya memiliki 250 tempat tidur. Rumah sakit lain yang punya ruang rawat inap hanya RS Lancang Kuning dan RS PMC. RS PMC pun tidak banyak, hanya lima tempat tidur saja. Perbandingan penderita kejiwaan dan yang dapat dirawat secara medis 1 banding 30. Masih ada ribuan ODGJ lagi di luar sana yang tidak dirawat.
“Kondisi ini yang menggerakkan kami untuk menambah bed (tempat tidur) untuk pasien rawat inap. Baru 50 yang kami bisa. Itu pun selalu penuh,” ujar Pradipta.
Standar perawatan inap kejiwaan ini biasanya 10 hari. Setelah pasien tenang, maka mereka bisa dipulangkan ke rumahnya. Tentunya dengan bekal obat dan edukasi kepada keluarga. Tak hanya keluarga, tapi juga aparat setempat, seperti RT, RW dan pihak puskesmas. Sebagian besar bisa kembali dengan baik dan bersosialisasi dengan masyarakat. Beberapa di antaranya tidak, dan harus dibawa kembali ke RS untuk dirawat.
Penyebabnya kadang ada trauma dari keluarga. Mereka takut kepada pasien karena ketika akan diberikan obat, maka yang bersangkutan diserang, kadang dilempar batu, digigit. Bahkan ada yang mengamuk dengan membawa parang. Padahal jika ada sedikit keberanian keluarga dan orang terdekat, maka mereka akan bisa makan obat. Mereka akan relatif tenang dan tidak kambuh lagi.
“Seperti yang dari Kampar. Dia sempat membawa parang dan mengamuk. Makanya masyarakat sudah tidak mau menerima lagi. Jadi sementara, walaupun sudah membaik, dia memohon biar tinggal di sini saja,” ujar Pradipta.
Untuk merawat ODGJ di RS Lancang Kuning, terdapat dua orang dokter spesialis kejiwaan dan seorang psikolog. Mereka juga merupakan dokter di RSJ Tampan.
Sejak manajemen RS Lancang Kuning di bawah Dompet Dhuafa, beberapa layanan untuk kaum duafa juga terus dimaksimalkan. Dompet Dhuafa sendiri merupakan sebuah lembaga sosial yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum duafa melalui kegiatan filantropis dan wira usaha sosial profetik (prophetic socio-technopreneurship). Seiring perkembangan waktu, lembaga yang menyalurkan zakat, infak dan sedekah ini mendirikan rumah sakit di Indonesia. Bahkan hingga tujuh unit. Rumah sakit itu ada di Bogor, Serpong, Jakarta, Lampung (dua unit), Jombang, dan Pekanbaru.
“Dari tujuh rumah sakit itu, hanya di Pekanbaru yang punya layanan rawat inap kejiwaan,” ujar Pradipta.
Pemasungan dan ODGJ Jalanan
Kendati sudah ada program Kemensos RI Indonesia bebas pasung, diyakini masih banyak ODGJ yang masih dipasung. Kasus terbaru misalnya pada November-Desember 2022 di Siak dan Inhu. Ada yang dipasung di tengah sawah dan dibebaskan aparat setempat bersama RS Lancang Kuning. Pasien kemudian dirawat di RS ini.
Pemasungan pasien biasanya terjadi karena yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa berat. Indikasinya adalah resah, gelisah, mengganggu ketertiban umum, misalnya telanjang di jalan, berbuat kriminal seperti mencuri atau mengamuk menggunakan senjata. Dianggap tak bisa diantisipasi lagi, maka mereka dipasung.
Hanya saja, pihak RS tak bisa mengambil begitu saja mereka dari jalan atau tempat pemasungan. Tetap harus aparat setempat seperti Dinas Sosial yang bertindak di awal. Harus ada pendataan terlebih dahulu. Diidentifikasi nama, alamat dan keluarganya. Tujuannya, jika mereka sudah dirawat dan dinyatakan sembuh, maka bisa dikembalikan kepada keluarganya. Keluarganya juga bisa diberikan edukasi bagaimana memberi obat, tidak malah takut dan membiarkan. Masyarakat sekitar juga diberi edukasi agar bisa menerima kehadiran mereka. Termasuk aparat setempat dan puskesmas.
Hanya saja, kebanyakan keluarga dan masyarakat justru seperti “membuang” ODGJ ini. Mereka menganggapnya “sampah”. Sedikit yang mau menerima kembali, apalagi yang masih kerap kambuh dan mengganggu.
Masalah lainnya adalah ternyata banyak sekali ODGJ yang berasal dari tempat yang jauh. Pada 2020 lalu, beberapa orang sempat dibawa dari jalanan oleh Dinas Sosial Pekanbaru karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Mereka dibawa ke RS Lancang Kuning. Dilakukan identifikasi melalui scan retina mata dan sidik jari. Sebab, banyak yang tidak ingat nama, alamat, asal-usul, dan keluarganya. Hasil dari scan retina dan sidik jari, diketahui beberapa di antara mereka berasal dari Sumut, Bengkulu, bahkan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Data NIK mereka menunjukkan itu.
Mereka pun dibawa ke RS Lancang Kuning untuk dirawat. Jumlah yang “tidak memiliki keluarga” atau pun jauh ini mencapai 10 orang. Setelah dinyatakan sembuh, mereka tentu dikembalikan ke keluarga. Tapi mereka seakan tidak ada tempat kembali. Beberapa bisa dikembalikan dengan koordinasi bersama dinas sosial kabupaten atau provinsi setempat. Yang lain masih belum bisa dikembalikan.
“Masih tiga orang. Mereka sudah ingat nama dan asal-usul mereka. Cuma belum bisa dikembalikan,” ujar Pradipta.
Kondisi ini tentu saja menjadi dilema bagi pihak rumah sakit. Pertama, tempat tidur terbatas dan masih banyak pasien dan calon pasien lainnya yang antre untuk dirawat. Sementara yang sudah sembuh tidak bisa kembali ke keluarganya.
Kedua, biaya perawatan pasien. Mayoritas pasien ODGJ ini adalah masyarakat ekonomi lemah. Mereka tidak memiliki kartu berobat seperti BPJS atau kartu berobat lainnya. Bahkan ada yang sengaja dikeluarkan dari daftar kartu keluarga (KK), dianggap orang hilang, dan sebagainya. Dalam kondisi ini, pihaknya berkoordinasi dengan Dinas Sosial Pekanbaru untuk mengurus BPJS dengan tanggungan pemerintah. Hanya saja tidak sepenuhnya berjalan lancar.
“Makanya, beberapa pasien masih dalam tanggungan Dompet Dhuafa,” ujar Pradipta yang juga berasal dari Dompet Dhuafa ini.
Pihaknya masih terus mencari donatur atau berupaya agar biaya perawatan beberapa pasien ini bisa ditanggulangi. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa purnama, bahkan hingga berbilang tahun, belum ada tanda-tanda perubahan. Beberapa di antara mereka sudah dirawat sejak 2020. Dompet Dhuafa masih menanggung mereka.
Sementara itu, Supervisor Divisi Program Dompet Dhuafa Riau, Ridia Wulandari menambahkan, Dompet Dhuafa berkomitmen membantu kaum duafa, termasuk pasien kejiwaan ini. Jika pasien di RS Lancang Kuning tidak memiliki BPJS, pihaknya selalu berkoordinasi dengan dinas kesehatan untuk membuatkan BPJS PBI (penerima bantuan iuran). Sementara pengurusan diselesaikan, biaya perawatan ditanggung Dompet Dhuafa dari donasi umat.
Di pihak lain, Subkoordinator Rehabilitasi Sosial, Korban Tindak Kekerasan dan Perdagangan Orang Dinas Sosial Kota Pekanbaru Agustian menyatakan bahwa pihaknya memang bertanggung jawab atas gelandangan dan pengemis di jalan, yang sebagiannya merupakan ODGJ. Pihaknya memang pernah berkolaborasi dengan RS Lancang Kuning, termasuk mereka yang diambil dari jalanan kota. Hanya saja, saat ini tidak lagi.
“Kami sekarang banyak berkoordinasi dengan RSJ Tampan karena sesama pemerintah. Regulasi lebih jelas dan komunikasi juga lebih baik,” ujar Agustian.
Berdayakan Pasien Sembuh
Pihak RS Lancang Kuning berkoordinasi dengan banyak pihak dalam menangani ODGJ ini. Di antaranya dengan dinas sosial dalam pendataan awal pasien, pihak puskesmas, dan beberapa instansi lainnya. Termasuk soal penjemputan dan pengantaran kembali pasien. Sebab, banyak di antara pasien kejiwaan dari kabupaten dan kota yang menelepon agar keluarga mereka dirawat, tapi tidak memiliki biaya transportasi. Jarak yang jauh, di pulau-pulau terpencil dengan biaya transportasi yang mahal jadi kendala. Dalam hal ini, pihak RS Lancang Kuning berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten masing-masing.
Pihaknya juga berkoordinasi dengan Kemensos RI terkait pemberdayaan pasien sembuh. Para pasien ODGJ yang sembuh, idealnya memang dikembalikan ke keluarganya. Hanya saja, beberapa keluarga dan lingkungan kerap menolak. Beberapa menimbulkan konflik karena mereka tidak memiliki pekerjaan dan mengganggu orang.
“Makanya mereka perlu diberdayakan. Mereka diberi pelatihan dan diharapkan bisa mandiri,” ujar Pradipta.
Pradipta berkoordinasi dengan Sentra Abiseka Pekanbaru. Lembaga di bawah Kementerian Sosial ini memang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dari mereka yang merupakan korban kekerasan anak, lansia, disabilitas, korban narkoba, HIV/Aids, termasuk ODGJ. Beberapa pasien sembuh RS Lancang Kuning dikoordinasikan untuk diberdayakan di sini.
“Sudah ada kerja sama dengan Sentra Abiseka. Sudah ada juga yang bisa mengikuti pelatihan di sana,” ujar Pradipta.
Di pihak lain, Kepala Sentra Abiseka Pekanbaru, Agus Hasyim menyebutkan, pihaknya memang sudah melakukan kerja sama dengan RS Lancang Kuning sejak November 2022 lalu. Pihaknya menerima pasien ODGJ sembuh dengan sejumlah asesmen tertentu. Diperlukan komitmen dari keluarga agar setelah dinyatakan selesai dari pelatihan di Sentra Abiseka, keluarga dapat menerima kehadiran mereka.
“Pelatihan dilakukan tiga bulan. Setelah mereka dianggap mandiri, maka dikembalikan kepada keluarga. Diharapkan mereka dapat diterima masyarakat,” ujar Agus Hasyim.
Nama Sentra Abiseka diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti berubah jadi lebih baik. Lembaga ini melatih mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan mental. Sebelumnya, lembaga yang berada di Jalan Sekolah Rumbai ini bernama Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Tugas pokoknya hanya mengurusi anak yang bermasalah, seperti korban pemerkosaan, anak pelaku kriminal, dan lainnya. Tapi sekarang, setelah berganti jadi Sentra Abiseka, lembaga ini melatih tak hanya anak. Termasuk di antaranya “alumnus” ODGJ.
“Kami asesmen dan gali minat dan bakatnya. Misalnya sekarang ada yang dilatih bengkel motor,” ujar Agus Hasyim.
Buka Konseling Korban Perundungan Anak
Sebagai tambahan program, Rumah Sakit Lancang Kuning juga membuka konseling untuk korban perundungan atau bullying. Rumah sakit ini membuka layanan konseling psikologi bagi anak atau remaja yang mengalami korban perundungan karena diyakini banyak remaja yang dirundung, terutama di medsos. Mereka pun mengalami tekanan mental yang kuat, bahkan stres hingga menuju gangguan jiwa. Makanya, layanan psikologis juga diberikan. Pihak RS membuka konsultasi lewat telepon dan kemudian bisa janjian video call dengan psikolog rumah sakit.
“Baru-baru ini ada remaja yang jadi korban dan kita layani. Bahkan karena posisinya dekat, psikolog kami bertatap muka langsung dalam memberikan layanan,” ujar Pradipta.
Berkat kegigihan dr Pradipta Suarsyaf dan jajarannya, dia mendapatkan apresiasi. Di antaranya adalah penghargaan Satu Indonesia Award dari Astra tingkat Provinsi Riau.***
Editor: Edwar Yaman