Situasi di Syria masih terus runyam. Ruwet. Terutama setelah Paman Sam meninggalkan gelanggang. Menyisakan ketegangan baru antara Turki dan Kurdi. Berikut laporan BUD WICHERS, jurnalis dan fotografer dari Belanda, untuk Jawa Pos. Langsung dari garis depan peperangan.
—
SAYA sedih melihat jembatan penyeberangan Semalka Senin lalu (21/10). Jembatan apung yang melintasi Sungai Tigris itu menghubungkan Faysh Khabur, Iraq, dan Khanik, Syria. Ini kesempatan saya untuk memasuki wilayah kekuasaan Kurdi.
Yang berat adalah tak bertemu lagi dengan kawan-kawan di sisi Iraq. Saya sudah sedikit terbiasa dengan mereka. Saya hampir pasti tak akan bertemu dengan mereka setelah tiba di seberang. Menurut perkiraan saya, jembatan kecil yang menghubungkan dua negara itu akan dikuasai tentara Syria dalam waktu dekat. Mungkin dalam 120 jam setelah penyeberangan saya.
Diperlukan banyak persiapan untuk menyeberangi perbatasan tersebut. Saya perlu menyerahkan banyak dokumen dan laporan. Saya harus melalui wawancara oleh agen rahasia untuk bisa masuk wilayah Rojava.
Rojava merupakan wilayah kekuasaan Kurdi. Sopir saya, Jalal, sudah menunggu di sisi Syria saat saya melakukan sesi wawancara terakhir dengan aparat perbatasan.
Hari itu saya putuskan untuk langsung berkendara menuju Qamishli. Kota dengan 185 ribu penduduk itu ibu kota pemerintah de facto Rojava. Sebagian besar wilayah kota tersebut dikendalikan Kurdi. Ada beberapa yang dikuasai rezim Assad (Presiden Syria Bashar Al Assad).
Mungkin, itu salah satu tempat yang relatif aman. Namun, perjalanan menuju kota tersebut tak aman. Saya harus sampai sebelum malam. Jika matahari terbenam, tak ada yang tahu bahaya apa yang akan menyergap.
Saya juga khawatir dengan milisi yang disponsori Turki. Turki berulang-ulang menjatuhkan bom di Qamishli dan sekitarnya.
Jalal sendiri jadi korban. Adik iparnya baru saja terbunuh pekan lalu. Pemuda 20 tahun itu berada di dekat lokasi jatuhnya bom. Sekarang Jalal harus menemani istrinya yang tak bisa tidur setiap malam. Menurut dia, 11 ribu orang Kurdi terbunuh secara sia-sia.
Mobil saya tak bisa berjalan terlalu cepat. Sebentar saja melaju, sudah ada blokade jalan. Saya dan Jalal hanya bisa menerka kubu mana penjaga checkpoint itu dari bendera yang terpajang. Saya pun gugup bukan main.
***
Sebelum saya masuk Syria, ada pesan tersebar di kalangan awak media. Katanya, dua jurnalis tertangkap oleh aparat pemerintah. Tertangkap berarti minimal lima tahun penjara. Beruntung, saya tiba di Qamishli dengan selamat. Namun, pemandangannya berbeda. Tak seperti kunjungan saya sebelumnya. Sebagai jurnalis perang, sudah 11 kali saya bolak-balik Syria. Suasana Qamishli kali ini terlalu hening.
Beberapa bangunan sudah rusak akibat serangan pesawat tempur Turki. Kebanyakan toko sudah tutup dan listrik tak bisa diandalkan. Saat senja, kota terlihat gelap dan menyeramkan.
Di kota ini saja, 300 ribu orang telantar. Yang terluka tak terhitung. Korban dengan luka parah dilarikan ke Al-Hasakah National Hospital. Keinginan saya ke sana masih belum tercapai karena keadaan yang terlalu rawan. Tapi, kata beberapa orang, banyak yang terbakar karena serangan fosfor. Senjata itu sudah dilarang menurut hukum internasional.
Keesokan harinya, saya kembali bertualang bersama Jalal. Saya tak bisa tenang meskipun hari sudah terang. Hari ini kesepakatan Putin-Erdogan berlaku. Tentara Rusia dan Turki melakukan patroli bersama-sama. Sedangkan tentara AS yang keluar disambut lemparan batu, tomat, dan telur.
Wajar saja Kurdi merasa terkhianati. Pada 2018, mereka dikhianati Rusia. Tentara Rusia mengizinkan Turki untuk meluncurkan operasi militer Olive di Afrin. Mereka pun angkat kaki dari sana.
Setelah itu, mereka beralih ke AS. Syrian Democratic Force (SDF) jelas membantu dunia dengan melawan ISIS selama delapan tahun terakhir. Namun, sekali lagi mereka dikhianati. AS berpaling dan pergi. Pemerintah Rojava dihancurkan hanya dalam waktu lima hari.
Dan yang paling miris, upaya mereka selama delapan tahun tak lagi berarti. Rusia hanya tertarik dengan perbatasan. AS juga hanya tertarik menjaga lapangan migas. ISIS bebas mencoba mengambil alih Raqq dan Deir ez-Zor, bekas markas mereka. Bagi Kurdi, pertandingan sudah berakhir dan mereka kalah telak.
Tapi, pertempuran tak berhenti semudah itu. Pasukan Free Syrian Army (FSA) yang bergabung dengan Turki tak menaati perjanjian. Hari ini (kemarin waktu setempat) kami ditembaki. Mortir dan Kalashnikov silih berganti tanpa henti. Padahal, saya tengah berada di sebuah rumah sakit di Tal Tamer.
Ada tiga jurnalis si rumah sakit itu, termasuk saya. Saya luka ringan. Semua orang asing berkumpul. Termasuk para dokter dan perawat. Pertempuran terasa begitu dekat. Saya tak lagi melihat Jalal, sopir saya, di mana pun. Saya tak tahu apa akan terjadi beberapa jam lagi.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi