WABAH CORONA

Iklim Tropis Tak Menghambat Penyebaran Corona, Amerika Latin Contohnya

Feature | Minggu, 24 Mei 2020 - 11:15 WIB

Iklim Tropis Tak Menghambat Penyebaran Corona, Amerika Latin Contohnya
Ratusan lubang untuk pemakaman dibuat oleh Pemerinta Kota Rio De Jainero, Brazil, beberapa hari lalu, setelah banyaknya kematian akibat virus corona di negara tropis tersebut. (AFP/BBC)

Iklim tropis yang selama ini diyakini para ahli akan menghambat penyebaran pandemi corona (Covid-19), ternyata tak sepenuhnya benar. Terbukti, di negara-negara di Amerika Selatan (Latin), juga Indonesia, penyebaran corona sangat masif.

Bahkan Amerika Selatan disebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai episentrum baru pandemi virus corona di dunia. Inilah yang membuat banyak pertanyaan muncul mengenai hal tersebut, terlebih Amerika Selatan memiliki iklim tropis yang disebut mampu menangkal Covid-19.


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan penelitian terbaru telah menyimpulkan bahwa iklim tropis tidak berkaitan dengan penekanan laju penyebaran virus corona.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo hingga Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Indonesia beruntung karena memiliki iklim tropis. Nyatanya, Amerika Selatan dinobatkan oleh WHO sebagai episentrum baru Covid-19 menyusul lonjakan infeksi di sana.

"Penelitian terbaru telah menyimpulkan bahwa tidak ada kaitannya antara negara tropis atau suhu panas dengan penekanan laju penyebaran Covid-19. Malah mungkin bisa jadi lebih cepat bilamana kelembapannya tinggi," kata Peneliti Bidang Kimia LIPI Joddy Arya Laksmono.

Joddy mengatakan faktor kelembaban juga berperan dalam laju penyebaran Covid-19. Ia mengatakan udara kering akibat kelembapan rendah di musim dingin membuat virus mudah untuk menyebar.

Sementara kelembaban tinggi, membuat penyebaran virus melambat karena membuat droplet cepat jatuh ke darat lebih cepat sehingga membatasi penyebaran melalui udara.

"Dari sisi transportasi memang kelembapan tinggi menekan penyebaran virus. Tapi kalau dari sisi pertumbuhan [reproduksi] virus pada kondisi kelembaban tinggi lebih cepat secara eksponensial dibanding udara kering," ujar Joddy.

Terpisah, Ahli Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan pemerintah Brazil sebagai negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, dari awal cenderung menyangkal potensi pandemi Covid-19 yang dapat membuat sistem kesehatan lumpuh dan akhirnya memakan ribuan korban jiwa.

"Sebagian masyarakatnya tidak peduli dengan jaga jarak dan pencegahan lainnya. Dalam waktu seminggu posisi Brazil sudah naik jadi ranking kedua negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Layanan kesehatan tidak mampu menampung jumlah pasien yang melonjak drastis. Sehari kemarin saja kasus barunya berjumlah 20 ribu," ujar Dicky kepada CNN.

Kepala Bidang Pengelolaan Penelitian Kimia LIPI, Akhmad Darmawan mengatakan penyebaran virus Covid-19 akan semakin banyak meski di negara dengan kondisi temperatur dengan kelembaban tinggi.

"Penularan virus tetap bisa terjadi jika virus tidak terpapar udara panas dalam waktu lama, dan jika kehidupan manusianya lebih banyak berlindung atau hidup di kondisi ruangan C (kelembapan rendah, red), maka penyebaran lebih banyak karena kondisi tersebut" ujar Akhmad.

"Walaupun virus yang terpapar pada permukaan atau benda yang terpapar lama sinar matahari dan suhu serta kelembaban tinggi akan mudah mati," tambahnya.

Dilansir dari Washington Post, musim panas memang bisa menghambat penyebaran bukan menghentikan penyebaran Covid-19.

Para ahli menyatakan setiap manfaat dari kondisi musim panas akan sia-sia apabila orang secara keliru percaya bahwa virus tidak dapat menyebar dalam cuaca tropis, sehingga meninggalkan protokol kesehatan seperti jarak sosial dan pemakaian masker.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook