Kalau saja kami datang sebelum masa pandemi mungkin harus menunggu lama (antri) menikmati aneka faslitas itu saking ramainya. Begitu kata pemandu watersport di sana. Beberapa tempat lainnya juga tak kalah menariknya. Uluwatu misalnya. Sebuah Pura yang disebut I Nyoman Buda Arta pemandu kami sebagai "tumit"-nya Bali. Ujungnya Bali karena setelah itu laut lepas.
Pemandangannya sungguh luar biasa. Perpaduan ngarai (kalau di Sumbar) dengan laut yang indah sekali. Momen di Uluwatu ini jadi menarik karena bertepatan dengan ratusan masyarakat Hindu Bali tengah menggelar ritual keagamaan. Para wanita membawa sesajen yang diletakkan di atas kepala. Dan mereka tak terganggu ritual ibadahnya dengan kedatangan kami para pengunjung. Alam sekitar masih terpelihara dengan hutannya yang rindang.
Bahkan kalau tak bertepatan dengan ritual warga di sana biasanya monyet-monyet berkeliaran dan mengambil apa saja barang-barang turis yang lalai menjaganya. Termasuk kacamata hitam untuk dipatahkan si monyet yang mungkin saja mendatangkan kesenangan tersendiri buat monyet-monyet tersebut.
Dari sana rombongan bertolak ke Pantai Pandawa. Sebuah pantai yang mulanya tertutup bukit. Lurah di sana berinisatif bersama warga membelah bukit dan akhirnya jadi jalan menuju pantai. Pemandangannya juga sungguh indah. Sebelum ke puncak destinasi Tanah Lot, rombongan berkunjung dulu ke Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini terletak di pinggir Danau Beratan di kawasan Bedugul
Pura Ulun Danu Beratan ini pernah dijadikan lukisan dalam mata uang Rp50 ribu. Kami berebut spot foto mengabadikannya. Ketika akhirnya sampai di objek wisata Tanah Lot, saya termangu. Inilah ikon yang paling bikin saya penasaran dan sering saya lihat di foto-foto brosur wisata.
Menarik melihat sebuah pulau terpisah hanya beberapa meter dari tepian pantai yang di pulau itu ada puranya. Bila air laut surut kita bisa berjalan kaki ke sana. Bila air pasang maka pulau itu seperti terapung di tengah laut.
Pura Luhur Tanah Lot terletak di kawasan Desa Braban, Kabupaten Tabanan. Pura Tanah Lot terletak di atas batu karang, berjarak sekitar 300 meter dari garis pantai. Untuk dapat mengakses pura, pengunjung harus melewati jalan batu pada saat air laut surut. Dari lokasi batu karang, untuk mencapai pura, pengunjung harus pula menaiki anak tangga batu. Pura Tanah Lot ini sangat dikenal di manca negara.
Pura yang lokasinya berada di lepas pantai ini semakin indah saat deburan ombak menerpa batu karang tempat berdirinya pura. Di area batu karang itu juga terdapat beberapa goa kecil goa kecil di sekitar pura itu konon kabarnya dihuni ular berwarna belang hitam putih. Ular-ular ini dipercaya masyarakat setempat sebagai ular suci jelmaan sabuk Danghyang Nirartha pendiri Pura Tanah Lot pada abad ke-15.
Bali negeri seribu pura itu sarat dengan kisah legenda. Meski demikian perbedaan suku, agama dan ras tidak jadi persoalan di sana. Keharmonisan tetap terjaga. Menurut Zarni, seorang perantau yang membuka usaha rumah makan di sana, sebagai ikon wisata warga lokalnya memang welcome.
“Kami kalau ada acara keagamaan seperti Maulid Nabi misalnya maka para Pecalang (polisi adat, red) di sana ikut mengawal kelancaran acara,” ujarnya.
Sebuah keharmonisan yang mengingatkan saya saat dibawa singgah ke kawasan Puja Mandala. Tempat lima rumah ibadah beda agama saling berdampingan dalam keharmonisan. Seperti falsafah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah Indonesia.***
Editor: Hary B Koriun