Bukan hanya keindahan alam dan budaya, Bali juga menawarkan sikap saling menghargai, termasuk bagi pemeluk agama yang berbeda.
Catatan Helfizon Assyafei (Bali)
SESAAT sebelum roda pesawat Lion JT 2930 menyentuh landasan pacu di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, Selasa (7/12/2021), saya melihat pemandangan laut lepas tak jauh dari Bandara. Orang di sana menyebutnya “Pantai Jerman”. Hanya 5 menit jaraknya dari Bandara. Indah pantulan warna air laut perpaduan biru dan hijau muda diterpa mentari siang itu.
Bali adalah satu destinasi wisata kelas dunia. Satu dari dua tempat yang paling ingin saya kunjungi setelah tanah suci Mekkah. Alhamdulillah dua keinginan itu tercapai saat roda pesawat menyentuh landasan pacu saat landing.
Mungkin saya datang di waktu yang tidak tepat karena pandemi belum berakhir. Hati sedikit terenyuh saat melangkah menuju pintu keluar Bandara. Tidak ada riuh bahasa mancanegara terdengar. Tidak ada gemuruh suara langkah kaki yang desertai suara kopor digeret. Hampir dua tahun aktivitas sepi akibat pandemi corona membuat pariwisata bali mati suri. Pendapatan ekonomi dari sektor pariwisata benar-benar terpuruk. Setakat ini baru turis domestik yang mulai kembali meramaikannya.
Sebaliknya mungkin saja saya justru datang di waktu yang tepat. Berkesempatan melihat Bali yang berbeda. Ketika dulu semua kita menyangka takkan ada yang bisa membuat Bali sepi kecuali hari Raya Nyepi di sana. Bahkan tragedi Bom Bali Oktober 2002 pun tak mampu membuat Bali sepi. Tapi pandemi telah membuat dua tahun Bali sepi. Kami menjelajah jantungnya wisatawan di kawasan Legian Kuta Bali di malam hari. Saya melihat begitu banyak gedung bagus di jalan paling strategis itu berubah jadi rumah kosong tanpa jiwa.
Jalanan di Legian yang biasanya macet merayap oleh kendaraan dan dijejali turis mancanegara yang berlalu lalang, masih terlihat lenggang. Berbagai tempat usaha seperti hotel, kafe, bar, restoran, serta toko masih banyak yang tutup. Di Pantai Kuta yang terkenal tempat turis berjemur itupun seperti termangu-mangu menunggu tamu yang entah ke mana. Masyarakat dan pelaku usaha yang bersandar dari sektor pariwisata turut merasakan dampaknya. Melihat Legian Kuta Bali sunyi sepi akibat pandemi berkepanjangan tanpa geliat wisatawan, seperti bukan Bali rasanya.
“Kami hanya di rumah Pak selama Pantai Kuta ditutup karena pandemi. Baru dua bulan ini kami sudah bisa berjualan. Syukurlah Pak sudah mulai banyak pengunjung lokal bisa ada pendapatan," ujar seorang ibu pedagang aksesoris saat kami singgah di pantai itu.
Belum dibukanya penerbangan internasional harus diakui berdampak pada tidak adanya kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali.
Meski ada perubahan situasi tetapi keindahan Bali tetap mempesona. Semua aspek di Bali sejatinya berkaitan dengan pariwisata. Apakah itu seni budaya, adat-istiadat, keagamaan bahkan tempat ibadah di Bali yakni Pura juga menjadi destinasi wisata yang dikunjungi wisatawan.
***
BAGI saya, perjalanan rombongan PWI Riau memberi pengalaman bermanfaat sekali. Hari kedua di Bali kami bersilaturami dengan PWI Bali. Ada banyak hal yang dibincangkan. Saya jadi tahu mengapa media massa cetak di sana tidak ikut berguguran karena pandemi. Pengurus PWI Bali menyambut kami dengan pakaian seragam khasnya di sana. Diskusi berlangsung hangat dan antusias.
Kami juga singgah ke Bali Tribun, sebuah koran cetak yang juga mampu bertahan dari gempuran pandemi. Saling bertukar cerita. Juga bertemu anggota PWI Riau yang sudah jadi anggota PWI Bali karena pindah tugas ke sana, senior saya bang Izarman Nabai. Pertemuan berlangsung hangat dan penuh keakraban. Hari-hari selanjutnya saat menjelajah ikon wisata di sana jadi pengalaman yang mengesankan.
Di antaranya saat berkunjung ke Pura Tirta Empul di kawasan Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar. Kunjungan ke Pura Tirta Empul setelah mengunjungi Istana Kepresidenn Tampak Siring. Pura ini terlihat dari Istana Tampak Siring yang berada di ketinggian. Kami diberi kain untuk dipakai (seperti sarung) saat memasuki areal Pura sebagai sebuah syarat memasuki tempat yang disucikan umat Hindu tersebut.
Menurut sejarah Pura Tirta Empul ini ditemukan 926 Masehi pada masa Dinasti Warmadewa. Pura ini biasanya sangat ramai dikunjungi wisatawan manca negara. Hari itu sejumlah wisatawan domestik dan warga lokal saja yang memenuhinya. Keunikan arsitektur dan adanya mata air alami di dalam Pura jadi daya tariknya. Air dari mata air di dalam pura ini diyakini masyarakat Hindu Bali untuk menyucikan diri.
Area pemandian dibagi dua. Bagi warga lokal dan bagi turis yang juga ingin merasakan sejuknya air di pemandian ini. Dari sini kami bertolak dan singgah di Kintamani. Daerah pusat kerajinan kopi luwak. Melihat langsung biji kopi di kebunnya dan Luwak di kandangnya serta menikmati hangatnya secangkir kopi. Disediakan di meja panjang di rumah panggung yang mata bebas memandang hijau ranaunya hutan dan bukit.
Pengalaman mengesankan lainnya saat keesokan harinya menjajal wahana watersport Tanjung Benoa. Para wartawan rebutan untuk menikmati sensasi wahana watersport. Di sana memang tersedia berbagai fasilitas watersport di Tanjung Benoa, ada fasilitas parasailing, rolling donuts, snorkeling, flying fish, sea walker, jet ski, gloss bottom, banana boat, dll. Selain itu ada juga fasilitas untuk mengunjungi Pulau Penyu.