Bom Waktu di Lahan Gambut

Feature | Selasa, 22 Oktober 2019 - 17:00 WIB

Bom Waktu di Lahan Gambut
Seorang relawan berpakaian superhero Spiderman ikut memadamkan api di perbatasan Pekanbaru-Kampar, beberapa waktu lalu. (MHD AKHWAN/RIAU POS)

Riau kembali berasap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang parah telah menyebabkan indeks standar pencemaran udara (ISPU) pada level berbahaya selama lebih dari dua pekan. Inilah bom waktu yang kembali meledak setelah empat tahun vakum. Akankah bom waktu di lahan gambut itu akan meledak lagi? Mengapa ingatan publik begitu pendek dan mudah amnesia? Hujan turut menghapus ingatan itu?


Laporan Muhammad Amin, Pekanbaru

Roni Rodessa masih siap siaga di markas Manggala Agni, kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Minas, perbatasan Kota Pekanbaru, Ahad (20/10) malam. Kendati hujan sudah beberapa kali menyirami Riau dengan intensitas tinggi, tapi asap masih menyapa. Api kadang masih menyala. Tujuh hari lalu, kawasan Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar masih terbakar. Empat hari lalu, kawasan Air Hitam di pinggiran Kota Pekanbaru juga masih membara.

"Ya, kalau sudah hujan begini mulai lega. Kami konsentrasi pada pencegahan karena status asap sekarang masih siaga," ujar Roni.

Komandan Regu (Danru) I Daerah Operasi (Daops) Pekanbaru Manggala Agni itu bersama anggotanya baru saja berjibaku melawan api dalam dua bulan terakhir. Kini, kendati asap tebal sudah nyaris tak ada, tapi sesekali masih datang. Kamis (17/10), misalnya asap tebal masih menyelimuti Riau beberapa jam. Matahari kembali menghilang. Langit biru kembali sirna. Yang ada hanya kelabu. Bahkan hingga Senin (21/10), bau sangit asap masih tercium di pinggiran Kota Pekanbaru.

Tak hanya Manggala Agni, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Masyarakat Peduli Api (MPA) juga masih siaga. Ahad, (6/10) lalu di saat orang mulai libur dan sedikit dapat mengirup udara bersih, Satgas TNI dan beberapa tim lain justru masih berjibaku dengan api. Sebuah kebakaran lahan di Jalan Riau ujung itu baru saja terjadi kembali sejak Sabtu (5/10). Luasnya mencapai sekitar dua hektare.

"Tidak ada libur bagi kami dalam tugas. Jangankan sekarang hari Minggu, kemarin pada HUT TNI 5 Oktober pun kami di lapangan seperti ini. Kami harus selalu siap siaga," ujar Pelda AM Tambunan dari Tim 3 Sub Satgas I  Kelurahan Tampan, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru.

Hari itu, tim kembali memadamkan dan mendinginkan lahan-lahan gambut yang baru terbakar. Mereka bahu-membahu memadamkan api dan mendinginkan lahan-lahan gambut yang berpotensi terbakar lagi. Mereka bertarung dengan api, kadang dengan bertaruh nyawa. Benar-benar bertaruh nyawa. Seperti halnya yang pernah terjadi pada Bob Santoso, anggota Manggala Agni Regu I Daerah Operasional (Daops) I Pekanbaru. Kebakaran yang melanda Bukit Batu, Kecamatan Bengkalis pada 2015 nyaris saja merenggut nyawanya. Bersama 15 anggota tim, mereka berjibaku melawan api di area Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB) itu. Sejak pagi hingga malam mereka bertarung melawan api. Sampai saat malam menjelang, mereka harus istirahat mengatur napas dan strategi untuk menghadapi api keesokan harinya. Tapi, ketika tim kembali ke posko, satu anggota tidak kelihatan. Dialah Bob Santoso. Pencarian pun dilakukan. Setelah satu jam pencarian, Bob ditemukan pingsan. Nyawanya nyaris melayang andai posisi pingsannya salah. Dia ditemukan pingsan dalam kondisi tertelungkup. Di dalam rongga gambut memang masih mungkin ada oksigen untuk bernapas.




"Entah apa yang terjadi kalau posisi pingsan saya tidak tepat dan tidak segera ditemukan kawan-kawan," ujar Bob mengenang.

Peristiwa Bob menyisakan trauma mendalam bagi Daops I Manggala Agni yang dipimpin Roni Rodessa. Tapi mereka justru makin berani dan penuh perhitungan menghadapi api. Nasib Bob yang cukup beruntung tak sama dengan nahas yang menimpa Pratu Wahyudi, anggota TNI Detasemen Rudal di Kota Dumai. Kejadian setahun setelah musibah 2015 itu terjadi tak jauh juga dari Giam Siak Kecil Bukit Batu. Tepatnya di Kepenghuluan Labuhan Tangga Besar, Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir. Pratu Wahyudi ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah dinyatakan hilang beberapa hari di dalam hutan yang terbakar.

Amnesia Karhutla

Bob dan sejumlah pemberani lainnya mungkin tak akan pernah lupa pada karhutla di Riau, termasuk di Giam Siak Kecil itu. Makanya, pencegahan dini menjadi keharusan. Bob-- yang beruntung masih hidup-- tahu betul ganasnya kepungan api dan asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) jika sudah membesar. Sebab, di saat orang lain harus menghindari asap, mereka justru menerjangnya, menyerang api dan asap itu habis-habisan. Tak peduli apapun.

Karhutla 2015 seharusnya menjadi pelajaran terakhir bagi semua pemangku kepentingan. Ketika itu, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Riau mencapai level berbahaya selama lebih dari satu bulan. Sekolah diliburkan selama sebulan. Bandara sempat lumpuh selama sepekan akibat jarak pandang yang hanya beberapa meter. Aktivitas perekonomian terganggu. 529.527 warga terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan 19 orang meninggal diduga terdampak asap. Sebagian besar anak-anak.

"Seharusnya tidak terjadi lagi kalau kita selalu ingat peristiwa itu. Masalahnya, publik selalu lupa setelah asap hilang," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Riko Kurniawan.

Makanya, kejadian demi kejadian karhutla akan terus berlanjut. Ingatan yang pendek pada penyebab, dampak, dan akar masalahnya menyebabkan musibah ini terus terjadi. Bahkan, karhutla di Riau sudah berlangsung selama 22 tahun sejak 1997. Pemerintah sibuk memadamkan api, mendinginkan lahan-lahan yang terbakar, tapi tak mengurus masalahnya dengan tuntas.

Berdasarkan data BPBD Riau, luas lahan yang terbakar sejak Januari hingga 21 Oktober 2019 mencapai 9.706,73 hektare. Rinciannya, Kabupaten Rohul 89,25 hektare, Rohil 1.941,45 hektare, Dumai 351,75 hektare, Bengkalis 1.911,34 hektare, Meranti 388,5 hektare, Siak 884,12 hektare, Pekanbaru 333,81 hektare, Kampar 385,55 hektare, Pelalawan 561,2 hektare, Inhu 1.693,3 hektare, Inhil 1.138,35 hektare, dan Kuansing 28,1 hektare.

Kepala BPBD Riau Edwar Sanger menyebutkan, terbakarnya Riau setelah empat tahun vakum terjadi karena ada kemarau ekstrem tahun ini. Kondisi ini beda dengan empat tahun belakangan yang relatif basah.

"Kemarau lebih awal dan lebih panjang tahun ini," ujar Edwar.
 


 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook