Bom Waktu di Lahan Gambut

Feature | Selasa, 22 Oktober 2019 - 17:00 WIB

Bom Waktu di Lahan Gambut
Seorang relawan berpakaian superhero Spiderman ikut memadamkan api di perbatasan Pekanbaru-Kampar, beberapa waktu lalu. (MHD AKHWAN/RIAU POS)

Makanya, status siaga darurat karhutla sudah dimulai pada 19 Februari 2019 dan baru berakhir 31 Oktober 2019 mendatang. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) sebenarnya sudah jauh-jauh hari menyebut ekstremnya kemarau pada 2019. Upaya pencegahan pun telah dilakukan. Tapi bom waktu karhutla itu meledak juga. Kebakaran merebak tak terkendali. Puncaknya adalah saat kondisi pencemaran udara mencapai level berbahaya yakni dengan indikator PM 10 (partikel debu) lebih dari 350. Bahkan berdasarkan data BMKG, PM 10 di Riau sempat menembus angka 700 selama beberapa hari. Makanya, sejak 23 September hingga 30 Oktober, Gubernur Riau Syamsuar mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara. Posko-posko kedap asap pun dibuat, baik pemerintah maupun nonpemerintah. Sekolah diliburkan hingga tiga pekan.

"Kalau sekarang kita fokus menjaga jangan sampai terulang. Statusnya masih siaga," ujar Edwar.

Baca Juga :Dirikan Tenda Tanggap Darurat di Wilayah Banjir

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan menyebut, upaya pemadaman dan kerja tim di lapangan memang patut diapresiasi. Tapi, yang penting juga adalah mengatasi karhutla pada akar masalahnya. Akar masalah karhutla di Riau terdapat pada pengelolaan lahan gambut yang serampangan. Izin yang diberikan tidak diawasi. Akibatnya, lahan gambut Riau terbakar lagi di banyak lokasi. Riau memiliki 4,6 juta hektare lahan gambut. Sebanyak 2,7 juta hektare di antaranya sudah berubah fungsi. 80 persen konsesi perusahaan, 20 persen dikuasai masyarakat, walaupun praktiknya juga dimiliki cukong.

Kenyataannya, banyak masyarakat perorangan yang memiliki lahan lebih dari 1000 hektare. Tentu ia bukan masyarakat biasa. Dalam ketentuan perundang-undangan, warga hanya boleh memiliki perkebunan maksimal 25 hektare. Di atas itu, harus badan usaha. Makanya, banyak cukong yang bermain di sana. Cukong ini pun mampu mengerahkan masyarakat untuk mengelola lahan itu atas nama mereka. Lahan dibagi-bagi dalam skala kecil. Catatan Walhi Riau, lahan-lahan yang terbakar selalu sama setiap tahunnya. Itulah lahan-lahan gambut yang tidak dikelola seperti seharusnya.

"Kalau lahan gambut itu tetap baik, tetap basah, tidak dikeringkan, maka kemarau seekstrem apapun tidak akan terbakar," ujar Riko.

Contoh nyata adalah apa yang terjadi di Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti. Tiga ribu hektare lahan pernah terbakar di Sungai Tohor pada 2014. Tak hanya lahan kosong, api juga membakar kebun-kebun sagu milik warga. Tapi ketika lahan gambut di sana dipulihkan, maka tak pernah lagi ada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sungai Tohor.

Karhutla di Riau memiliki motif dan modus yang sama dari tahun ke tahun. Ada praktik pembalakan liar atau ilegal logging terlebih dahulu. Pembalakan liar ini bahkan terjadi juga di lahan-lahan konservasi. Setelah itu, selalu dilakukan pembersihan lahan (land clearing). Cara termudah dan termurah adalah dengan membakarnya. Praktik pembakaran lahan ini bisa dikatakan "wajib" untuk lahan-lahan gambut. Sebab, gambut bersifat asam dan menetralkannya agar basa yang paling mudah adalah dengan membakar. Jika menggunakan kapur, setidaknya diperlukan dana sebesar Rp30 juta hingga Rp40 juta per hektare agar prosesnya maksimal. Pada lahan-lahan bertanah mineral, pembakaran juga menjadi solusi instan untuk pembersihan lahan dari tunggul kayu setelah pembalakan. Hanya saja, asap yang terjadi tidak separah di lahan gambut.

Praktik inilah yang terus berulang. Akibatnya, kebakaran lahan terus berulang. Setiap tahun, sebenarnya kebakaran hutan dan lahan tetap meluas, tapi tidak ekstrem. Tapi, tahun 2019 ini termasuk yang paling parah setelah 2015.

"Potensi terbakar itu 2 juta hektare lahan. Itulah bom waktu yang siap meledak kalau tidak diantisipasi," ujar Riko.

Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) RI Haris Gunawan ketika dikonfirmasi Riau Pos mengakui salah satu akar karhutla di Riau dan sejumlah provinsi lain di Indonesia adalah lahan gambut yang sudah rusak. Pihaknya bekerja terus-menerus dengan masyarakat, pemerintah daerah dan berbagai pihak melakukan restorasi gambut Riau. Restorasi, ujarnya, merupakan proses panjang dalam satu kesatuan hidrologis. Dilakukan pembasahan gambut dan revitalisasi ekonomi masyarakat dalam lingkup penataan ekosistem gambut secara simultan. Jangan sampai restorasi malah mematikan penghasilan masyarakat.

Di Riau, beberapa lokasi menarik untuk dijadikan model restorasi gambut. Misalnya Desa Sei Tohor, Sei Pakning, Temiang, dan Tanjung Leban.  Pembelajaran merestorasi hutan dan gambut dengan pendekatan berbagi air ini menjadi model yang juga dikembangkan di tempat lain. Dengan demikian, kebakaran dapat dikurangi ke depannya.

Diakuinya, masih banyak kawasan-kawasan yang belum direstorasi dan berpotensi terjadi karhutla. Ada 4,2 juta hektare lahan gambut dan 997 ribu di antaranya menjadi target prioritas restorasi. Area tersebut terdapat di kawasan berizin, kawasan konservasi/lindung dan kawasan yang dikelola masyarakat. Restorasi gambut, ujarnya, merupakan kerja panjang hingga berdampak untuk semua pihak, semua kepentingan, dan menekan risiko bencana ekologis, kebakaran, dan kabut asap. Ditanyakan tentang berapa target restorasi yang sudah direalisasikan BRG, Haris tidak memberikan jawaban yang pasti. Apakah BRG gagal mengantisipasi kerusakan gambut di Riau yang sudah rusak parah? Dia juga tak memberikan jawaban pasti.

"Ini perlu waktu, tidak seperti makan obat flu, hanya sembuh sementara. Restorasi untuk menyembuhkan gambut secara permanen, dan untuk mencapainya perlu waktu lama," ujar Haris.

Jejak Para Oknum

Karhutla parah 2019 mengingatkan masyarakat Riau pada kejadian serupa pada 2015. Ketika itu, karhutla paling parah terjadi di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB). Ada dua suaka margasatwa di sini yang digabungkan, yang di Giam Siak Kecil (GSK) dan di Bukit Batu (BB). Cagar Biosfer yang merupakan inisiasi Unesco ini terletak di dua kabupaten yakni Bengkalis dan Siak. Karhutla hebat di sini sebenarnya menyisakan trauma.

Muncul pula bukti-bukti lapangan yang mencengangkan. Salah satunya, keterlibatan banyak oknum aparat yang bermain di sana. Mereka mengatur kepemilikan lahan. Mulai dari aparat desa hingga TNI-Polri ada di sana. Lahan yang mereka kuasai mencapai ribuan hektare. Praktik tebang-bakar pun terjadi di sini.

Salah satu kasus paling mencolok ada pada Sudigdo. Dia adalah seorang tentara berpangkat Serka. Belakangan dia dipecat tidak dengan hormat di Mahkamah Militer Padang plus penjara dan denda. Kasusnya pun berlanjut hingga Mahkamah Agung (MA). Pada 2017, MA menghukum Sudigdo 4 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan penjara jika denda tak dibayar (Putusan No 250 K/MIL/2017). Entah bagaimana caranya, dia kembali beraksi di tempat yang sama. Penegakan hukum pun kembali dilakukan padanya. Dia pun divonis pidana penjara 3 tahun dan denda sebesar Rp2 miliar oleh PN Bengkalis pada 11 Juli 2019.

Sejak 2008, dia diduga telah merambah kawasan yang masuk kategori suaka margasatwa ini di Km 16 Dusun Bagan Benio, Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Bengkalis seluas 1.200 hektare (Yang bisa dibuktikan di pengadilan kemudian hanya 200 hektare). Tidak hanya Sudigdo yang bermain di SM Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSKBB). Hanya saja, semua kasus di GSKBB seperti ditumpahkan padanya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook