Modus Baru: Sekat Api hingga Asuransi
Dalam praktiknya di lapangan, kebakaran dan pembakaran hutan serta lahan menunjukkan perkembangan modus. Selain pembersihan lahan, berkembang juga teknik-teknik baru untuk mengurangi dampak api dan asap yang minimal dan sulit dideteksi satelit. Para oknum pembakar lahan sudah mulai mempraktikkan sekat api. Pembakaran oleh oknum dilakukan dalam radius kecil dengan adanya sekat api sehingga tidak melebar. Setelah aman, dilanjutkan dengan lahan berikutnya, juga dengan sekat api. Tapi karena kelalaian di lapangan, apalagi di musim kering ekstrem membuat api bisa tak terkendali. Apalagi jika angin bertiup kencang. Seorang anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) di Kabupaten Pelalawan yang pernah ditanyakan soal liarnya api di musim kemarau ekstrem ini menyebut, tidak boleh main-main dengan api di lahan gambut ini, sekecil apapun ia.
"Sebuah puntung rokok pun bisa membakar puluhan hektare jika cuaca kering dan mendadak ada angin kencang," ujarnya.
Yang lebih parah adalah api yang bisa "terbang" hingga puluhan meter. Tak hanya dapat menyeberangi sekat api yang dibuat, ia bahkan bisa menyeberangi air seperti sungai. Di lahan gambut, terdapat beberapa varietas rerumputan atau ilalang yang memiliki daya bakar kuat. Ia bisa terbang ditiup angin, singgah di tempat baru sejauh puluhan meter, lalu membakar lahan baru di sana.
DARI UDARA: Foto kebakaran lahan diambil dari udara, beberapa waktu lalu.(Defizal/riaupos.co)
Modus lainnya adalah asuransi. Hal ini cukup mencengangkan karena yang dibakar adalah kebun-kebun sawit yang baru tumbuh. Para tenaga ahli di perkebunan sawit saat ini sudah dapat memprediksi bahwa vegetasi yang sedang tumbuh itu tidak akan berkembang karena beberapa faktor. Bisa karena bibit yang tidak cocok, tanah yang kurang baik dan faktor-faktor nonteknis lainnya. Maka bagaimanapun treatment-nya nanti, baik pemupukan atau pun perawatan, hasilnya tetap tak akan maksimal. Akan sia-sia saja. Daripada sia-sia, maka yang terbaik adalah dengan memusnahkan selagi sawit itu muda dan menggantikannya dengan bibit baru.
Para cukong dan perusahaan tentu sudah menyiapkan antisipasinya. Mereka sudah ikut asuransi perkebunan sawit. Alibi akibat karhutla pun bisa diciptakan. Padahal, kebanyakan kebun-kebun sawit baru yang ikut terbakar itu dilakukan dengan sengaja demi mengejar klaim asuransi dan membuat kebun sawit baru yang lebih menjanjikan.
Modus lainnya adalah kawasan-kawasan yang merupakan lahan konflik antara masyarakat dan perusahaan. Biasanya lahan itu tak bisa dikuasai perusahaan. Okupasi lahan oleh masyarakat itu akhirnya dituntaskan dengan pembakaran lahan oleh oknum perusahaan. Pembakaran itu dilakukan di waktu-waktu yang tidak ada penjagaan, misalnya pada malam hari. Akibatnya, masyarakat yang terkena dampaknya karena lahan itu mereka kuasai. Dalam laporan kepada aparat, masyarakat yang bisa terkena pidana. Tapi praktiknya kemudian, sering kali perusahaan dapat mengambil alih lahan-lahan bekas pembakaran itu karena mereka memiliki perangkat pengacara, ahli hukum, dan “orang kuat”.
Flyng Fox ala Mahato
Sebuah video penyeberangan sepeda motor berikut penumpangnya di atas sungai ala flyng fox beredar di media sosial dan sempat viral. Pemda pun dikecam karena tidak membuatkan jembatan penyeberangan di sana. Tapi Sekda Rokan Hulu (Rohul) Abdul Haris, punya alasan terkait itu. Pemkab Rohul tidak boleh membangun infrastruktur di kawasan itu.
Ternyata perkebunan sawit itu masuk dalam kawasan Hutan Lindung Mahato. Tidak sembarangan boleh membuat infrastruktur di hutan lindung. Pembangunan infrastruktur harus ada izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan itu tidak pernah diberikan. Kehancuran Mahato sudah berlangsung lama. Ada pemodal besar yang bermain di sana. Mahato termasuk kawasan lindung pertama yang hancur-hancuran di Riau dan sudah berganti dengan perkebunan sawit. Kepemilikan kebun itu banyak yang atas nama pribadi atau kelompok tani. Tapi sesungguhnya ada pemodal besar di sana yang menjadi pemilik tunggal, selain beberapa cukong lain, dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.
Mahato yang bertanah mineral awalnya juga dibakar. Tapi kondisinya berbeda dengan lahan gambut yang asapnya bertahan lama. Setelah dibakar, lahan-lahan itu dibiarkan kosong selama bertahun-tahun. Lalu didatangkan para pekerja dari Sumatera Utara. Dibangunlah fasilitas umum, rumah ibadah, sekolah. Jika sudah ada sekolah dan rumah ibadah, maka akan semakin sulit mengembalikan fungsi hutannya. Penertiban bisa berhadapan dengan masalah-masalah sosial lainnya, bahkan terkadang dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM). Ketika itulah kebun sawit mulai bertumbuhan. Rumah-rumah pun berdiri. Semua pun aman terkendali.
"Itu yang terjadi di Mahato dulu, sekarang Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil, juga kawasan-kawasan konservasi lainnya," ujar aktivis Walhi Riau Fandi Rahman.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono ketika dikonfirmasi menyebutkan, berkaitan dengan aktivitas di Hutan Lindung (HL) Mahato dan Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, secara kewenangan berada pada Dinas LHK Provinsi Riau sebagai pemangku HL dan Balai TN Tesso Nilo sebagai pemangku kawasannya. Tapi pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak tersebut. Demikian pula tentang proses penegakan hukum di lahan-lahan konservasi itu, BBKSDA Riau akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berwenang dalam proses penegakan hukum yakni Balai Gakkum dan Polri.
Amnesia Penegakan Hukum
Kasus flyng fox di Mahato, karhutla dan perambahan di GSKBB, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) serta sejumlah kasus lainnya pada hutan Riau menggambarkan lemahnya pengawasan terhadap hutan Riau. Lebih jauh lagi, kondisi ini mengindikasikan penegakan hukum yang juga lemah. Kadang ia menguat jika ada desakan publik, tapi mendadak dilupakan ketika kondisi reda. Beberapa kasus bahkan hilang begitu saja.
Salah satu yang paling menghebohkan adalah keluarnya surat penghentian penyidikan perkara (SP3) perusahaan yang terlibat karhutla 2015. Dari 18 korporasi yang diduga terlibat karhutla dan sudah ditetapkan sebagai tersangka karhutla, 15 di antaranya SP3. Hanya tiga perusahaan yang diajukan ke pengadilan. Ketiganya adalah PT LIB di Pelalawan, PT PLM di Inhu (milik perusahaan asal Singapura) dan PT WSSI di Siak.
Koordinator Jikalahari Made Ali menyayangkan SP3 ini. Menurutnya, pola yang sama bisa dan mungkin terjadi pada karhutla 2019. Sekarang, aparat penegak hukum memang menindak beberapa perusahaan yang diduga terlibat pembakaran lahan.
"Tapi nanti bisa jadi SP3 lagi. Polanya sama dengan yang lama. Tak cukup bukti dan sebagainya," ujar Made.