Sebati Alam ala Milenial Sakai

Feature | Sabtu, 20 November 2021 - 14:36 WIB

Sebati Alam ala Milenial Sakai
Para petani Sakai menanam cabai rawit, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Sejak dulu, Sakai selalu identik dengan hutan dan alam. Masuknya perusahaan minyak PT Caltex Pacifik Indonesia (CPI) di wilayah Duri dan sekitarnya tak mengubah pola hidup masyarakat Sakai. Tapi, perubahan alam dan sosial di tempat mereka telah menjadikan hutan tak cukup lagi jadi supermarket dan apotik hidup mereka. Para anak muda Sakai ternyata punya cara sendiri bersebati alam, dengan kearifan lokal mereka di era milenial ini. Bagaimana para anak muda itu mengubah konsep sebati alam di tengah ladang minyak?

Laporan: Muhammad Amin (Duri)


Beberapa pemancing sedang asyik mengail di kolam milik komunitas Sakai di Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Jumat (19/11). Rahul, salah seorang pemuda Sakai di sana mengawasi. Dia memang mengurus perikanan di kawasan pertanian terpadu itu.

"Bayar Rp30 ribu per kilogram ikan nila yang dipancing," ujar Rahul alias Rasman.

Pemuda Sakai tamatan SMA tahun 2019 ini telah cukup mahir memelihara ikan, baik lele, nila, patin, mas, atau gurame. Kolam-kolam di sana pun tak hanya jadi tempat usaha, tapi juga mulai jadi arena rekreasi memancing. Tiap hari ada saja yang memancing, lima hingga sepuluh orang. Untuk dijual ke pasaran melalui tauke ikan, harga lebih murah, yakni Rp23 ribu per kilogram.

"Biasanya sekali panen bisa 1 ton," ujar Rahul.

Topan, anak muda Sakai lainnya punya cerita senada. Topan dipercaya mengurus pertanian di lokasi ini. Mulai dari sayur-sayuran seperti cabai, timun, kangkung, hingga buah-buahan seperti matoa, pepaya, jagung diurusnya. Topan bergabung di tempat ini sejak 2018. Berpengalaman di sebuah perusahaan pembibitan selama enam bulan, dia kemudian bergabung ke pertanian terpadu komunitas Sakai ini. Bahkan lebih lama. Kesejahteraan juga lebih baik. Dipaparkannya, untuk anggota mendapatkan 30 persen. Sebanyak 70 persen lagi untuk komunitas. Cabai saja, sekali tanam bisa mencapai 30 ribu batang dengan 15 pulutan atau bedeng. Sekali panen bisa mendapatkan Rp50 juta.

"Sebulan dapatlah Rp5 juta untuk kami pribadi," ujarnya semringah.

Pertanian terpadu dan menetap merupakan suatu yang baru bagi komunitas Sakai. Mereka tidak terbiasa menanam, melainkan langsung mengambil dari alam dan hutan. Era 1970-an, misalnya, kawasan Mandau tidak seperti sekarang. Alam semula jadi masih menyediakan semua makanan, obat-obatan, area permainan, pendidikan alam, hingga wisata mereka. Masyarakat Sakai hidup dari  berburu dan mencari ikan. Ladang berpindah juga menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka juga mendidik anak-anak dengan dan dari alam.
subMus Mulyadi dengan tanaman pepayanya.

"Hutan dan alam jadi supermarket dan apotik kami sejak dulu. Saya masih menjadi bagian dari kehidupan masa itu," ujar pemuda Sakai, Mus Mulyadi. Dialah yang menginisiasi dan menggalang pemuda Sakai tempatan untuk membentuk konsep pertanian terpadu.

Ketika perusahaan pengeboran minyak PT Caltex Pacifik Indonesia (CPI) beroperasi di Mandau pada 1951 dan beroperasi penuh tahun 1971, masyarakat Sakai tetap berkehidupan seperti biasa. Mereka berdampingan dengan pipa-pipa dan segala aktivitas ladang minyak di sana. Mus Mulyadi mengenang, mereka tidak terganggu atau terpengaruh pada aktivitas penambangan. Sebab, alam tidak berubah. Masa kecilnya memang masih identik dengan aktivitas alam. Dia ikut berburu ke hutan, menangkap ikan, memasang lukah dan taju di Sungai Pematang Pudu. Dia juga ikut membuka hutan, berladang bersama orang tua yang ketika itu masih berpindah-pindah. Segala macam buah-buahan, sayuran, hewan buruan, ikan, hingga umbi-umbian tersedia di alam. Di antaranya yang paling digemari dan populer di kalangan masyarakat Sakai adalah makanan ubi beracun yang disebut ubi menggalo.

Pada 1972, Departemen Sosial memberikan bantuan perumahan kepada masyarakat Sakai. Itulah sentuhan awal terhadap masyarakat yang masuk kategori KAT (komunitas adat terpencil) ini. Kendati dibangunkan rumah, kawasan Mandau tetap saja belukar dan masyarakat Sakai tetap menggantungkan hidup dari hutan. Bantuan demi bantuan dari pemerintah dan perusahaan, dalam hal ini CPI terus diterima. Di antaranya biaya pendidikan atau beasiswa.

"Saya sendiri menerima beasiswa sejak SD hingga SMA," ujar Mus Mulyadi.

Pelan tapi pasti, geliat kehidupan di Mandau terus meningkat. Dari belantara, perkampungan masyarakat Sakai, lalu berubah menjadi kota bernama Duri. Rumah-rumah yang dulunya berpuluh tahun hanya bantuan Departemen Sosial, dengan jalan yang sepi di kiri kanan, terus bertumbuh. Pendatang terus memenuhi wilayah ini. Geliat ekonomi meningkat seiring aktivitas perusahaan pertambangan. Pasar hidup. Ekonomi tumbuh. Rumah-rumah baru bermunculan. Manusia baru berdatangan ke Duri. Hutan dan belukar, tempat mencari nafkah warga Sakai pun mulai berganti permukiman, infrastruktur, dan wilayah-wilayah untuk perusahaan pengelolaan hutan dengan HPH-nya. Atau berubah pula jadi perkebunan sawit milik perusahaan besar. Nyaris saja hutan adat Sakai benar-benar punah ranah. Hanya sejumput hutan yang akhirnya bisa dipelihara dengan kearifan lokal dan keteguhan adat mereka. Yakni hutan Kesumbo Ampai, 20 kilometer dari Duri.

"Sekarang hanya Kesumbo Ampai hutan milik masyarakat Sakai yang tersisa. Tidak ada yang lain," ujar Mus Mulyadi.
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook