Sebati Alam ala Milenial Sakai

Feature | Sabtu, 20 November 2021 - 14:36 WIB

Sebati Alam ala Milenial Sakai
Para petani Sakai menanam cabai rawit, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Sebati Alam ala Anak Muda Sakai
Setelah hutan alam Sakai tak bisa lagi memberikan kehidupan bagi mereka, maka masyarakat Sakai mencari nafkah dengan cara berbeda. Mereka mulai hidup dengan cara warga kota pula. Maklum, Duri, kota baru di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis ini telah menjelma menjadi kota terbesar kedua di Provinsi Riau dengan penduduk sekitar 256 ribu jiwa. Hanya kalah dari ibu kota Provinsi Riau Pekanbaru dengan penduduk sekitar 1 juta jiwa. Generasi muda Sakai banyak yang mulai melupakan cara hidup orang-orang tua mereka yang bersebati dengan alam dan hutan.

Sampai kemudian Mus Mulyadi yang ketika itu merupakan Ketua Karang Taruna Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, berwirausaha dengan beternak lele. Pola ini termasuk baru bagi delapan anak muda Sakai yang jadi pelopor. Sebab, mereka terbiasa disediakan alam, tapi kini mulai melakukan budi daya. Daya dukung alam dan hutan tidak memungkinkan mereka menggunakan cara lama. Harus dengan cara baru pula. Mereka meminjam lahan milik seorang warga John Kennedy seluas setengah hektare. Mus Mulyadi mengajak anak-anak muda Sakai yang rata-rata memang pengangguran.


"Awalnya hanya coba-coba saja. Kami buat kolam dan tebar 10 ribu bibit lele. Itu dimulai tahun 2012," ujar Mus Mulyadi mengenang.

Hasilnya ternyata lumayan. Mereka bisa panen sebanyak 600 kg. Hanya saja, hasil itu sebenarnya tidak maksimal. Sebab mereka bisa menghasilkan 1 ton jika memahami seluk-beluk budi daya lele. Dari lele, mereka mencoba pula dunia pertanian, yakni menanam cabai. 150 batang cabai mulai disemai. Lagi-lagi hasilnya tidak maksimal. Mereka hanya tahu tanaman bisa diberi pupuk kandang, tidak tahu teknik lainnya, mulai dosis pemupukan, teknik fermentasi pupuk, penanganan hama, dan lainnya.

Setelah merintis di tahun pertama dan bisa dikatakan "gagal", anak-anak muda ini tidak menyerah. Mereka terus melanjutkan usahanya. Hanya saja kali ini, kegiatan anak-anak muda ini mulai dilirik pihak perusahaan pengeboran minyak PT CPI, yang ketika itu telah berubah nama dari Caltex ke Chevron. Dari diskusi intensif, mereka kemudian bersedia dibina, sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR) perusahaan. Mus Mulyadi bahkan diajak ke Sukabumi untuk mengikuti pelatihan budi daya perikanan. Dia juga mengikuti pelatihan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau. Ada juga pendamping dari sebuah koperasi di luar Provinsi Riau. Mereka dibina tak hanya kemampuan budi daya perikanan, pertanian, dan peternakan, tapi juga manajemen bisnisnya.

Ketika itulah dibentuk Kelompok Pertanian Terpadu Masyarakat Sakai Pematang Pudu. Kelompok tani ini dipimpin Mus Mulyadi yang memang jadi inisiatornya sejak awal. Anggotanya tetap delapan orang. Pelan-pelan, kelompok ini berkembang dengan anggota mencapai 16 orang di luar ketua dan sekretaris. Lahan yang awalnya hanya setengah hektare kemudian bertambah menjadi 12 hektare. Sesuai konsep pertanian terpadu, maka tak cukup hanya lele dan cabai saja seperti di awal. Ada juga peternakan dan dikemas menjadi kesatuan terpadu.

Perikanan pun tak hanya satu ikan lele saja. Tapi juga ada nila, patin, baung, dan ikan mas. Bahkan juga ada ikan toman sebagai indukan. Kolam-kolam baru dibuat berukuran 5x10 meter berkedalaman 80 cm menggunakan ekskavator. Pihak CPI ketika itu membantu pembuatan kolam, bibit, hingga pembinaan SDM.

"Jadi tidak ada dalam bentuk uang. Itu pun hanya setahun saja pada 2013. Tahun berikutnya kami sudah mandiri. Sudah bisa melanjutkan dengan perputaran uang yang ada," ujar Mus Mulyadi.

Kolam-kolam ikan dibuat berjenjang. Lahan yang digunakan memang berkontur perbukitan. Kelompok tani ini membendung Sungai Banjaka setinggi 1,5 meter. Dari bendungan itulah didapat aliran air yang disalurkan dengan pipa 10 inci ke satu kolam. Lalu dialirkan lagi ke kolam berikutnya di kawasan yang berkontur lebih rendah. Deretan kolam pun berada di kiri dan kanan Sungai Banjaka yang bermuara ke Sungai Pematang Pudu ini.

Selain perikanan, pertanian juga dikembangkan, tak hanya sekadar cabai. Ada juga kangkung, timun, pepaya, hingga jagung. Sedangkan peternakan yang dikembangkan adalah ayam ras dan ayam kampung.  Kelompok tani ini bahkan pernah mengembangkan ayam ras hingga 5 ribu ekor. Ada juga bebek dan kelinci.

Sebagai pertanian terpadu, Mus Mulyadi sudah sangat paham bagaimana memadukan dan melakukan harmonisasi pertanian, perikanan, dan peternakan ini. Air dari kolam-kolam ikan dijadikan nutrisi untuk tanaman. Begitu juga kotoran ternak ayam yang sudah difermentasi dapat dijadikan pupuk bagi tanaman. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya.

"Kalau sebelumnya kami belum paham. Jadi main kasih saja kotoran ternak ke tanaman. Setelah paham, hasilnya lebih baik," ujarnya.

Untuk pakan ikan dan ternak, kelompok tani ini juga membudidayakan azola. Azola adalah tanaman paku air yang berkembang biak sangat cepat, mencapai 30 persen per hari. Terdapat empat kolam khusus azola berukuran 2x4 meter. Nutrisi untuk azola didapat dari air kolam ikan dan kotoran ternak fermentasi. Azola diberikan untuk ikan dan ayam sebagai pakan alternatif.

Selain itu dikembangkan juga maggot BSF, yakni larva lalat. Bibit maggot diambil dari kandang ayam. Bibit ini kemudian diberi treatment khusus dengan solid kelapa sawit yang diaduk dengan terasi di rumah maggot yang dibangun khusus. Maggot BSF sangat disukai ikan dan memiliki nutrisi tinggi. Kelompok tani ini juga sudah bisa membuat pelet ikan sendiri. Jadi, selain menggunakan pelet 781-1 dan 781-2, mereka juga menggunakan pakan dari pelet buatan sendiri, azola, maggot BSF, dan roti busuk.

"Kadang juga kalau ada ayam yang mati bisa kami cincang dan diberikan kepada ikan," ujarnya.
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook