Hutan juga menjadi bagian dari budaya. Berbagai tanaman dijadikan produk kerajinan, anyaman, sampan, hingga rumah. Misalnya daun kopau, sejenis palm, dijadikan bahan anyaman. Kayu pulai atau labuai dijadikan ukiran. Kayu giam dan kulim dijadikan bahan membuat rumah hingga sampan. Daun kopau dan nipah untuk atap atau anyaman lainnya.
"Jadi semuanya dari hutan. Ketika hutan hancur, maka mulailah orang Sakai mengambil sawit orang. Sebab dulu di situ hutan Sakai. Makanya kondisinya sudah bak neraka," ujar Agar.
Hancurnya hutan membuat orang Sakai dirugikan. Makanya selain berbuat kriminal, yang bisa dilakukan adalah menadahkan tangan alias meminta, baik kepada pemerintah maupun perusahaan. Kondisi ini tentu membuat penilaian orang terhadap masyarakat Sakai makin rendah. Padahal ini sebenarnya tak perlu terjadi jika hutan masih ada. Hal ini tentunya tak terpikirkan sebelumnya. Sebab, berbagai pihak menganggap, dengan memanfaatkan hutan sebagai perkebunan milik perusahaan, masyarakat ikut terbantu. Kenyataannya tidak.
"Kehilangan hutan menjadikan kami kehilangan supermarket dan apotik. Kehilangan budaya juga. Makanya, inisiatif yang dilakukan Mus Mulyadi dengan pertanian terpadu itu luar biasa," sebut Agar.
Mus Mulyadi, ujarnya, menjadikan produksi hutan dan supermarket Sakai itu berada di satu kawasan. Pertanian terpadu dinilai menjadi salah satu cara terbaik agar masyarakat Sakai tetap bisa menikmati hasil Bumi kendati hutan tidak ada lagi. Dia mendorong agar pemerintah dan pihak perusahaan pertambangan, dalam hal ini Pertamina Hulu Rokan (PHR) mendukung penuh usaha ini. Operasional PT CPI memang telah digantikan perannya oleh PHR, anak perusahaan Pertamina per Agustus 2021 lalu. Dia juga mendorong agar menjadikan kawasan Sakai lainnya bisa juga dikembangkan dengan model pertanian terpadu ini. Bahkan jika perlu dijadikan kawasan wisata yang dapat dikunjungi pelajar dan mahasiswa. Disediakan sarana pendidikan alam, seperti halnya pada sekolah-sekolah di Eropa dan juga mulai ada di Tanah Air.
"Alhamdulillah PHR membantu penuh apa yang dilakukan anak-anak muda Sakai ini. Tentunya ini juga mendukung usaha pertambangan. Kalau Sakai bisa mandiri, tentu tak akan mengganggu siapapun," ujar Agar.
Hal senada diungkapkan Ketua Dewan Pengurus Harian (DPH) Lembaga Adat Melayu Riau kawasan Batin 8 dan 5 Sakai, Johan. Menurut Johan, Mus Mulyadi dapat menjadi rujukan bagi masyarakat Sakai lainnya. Konsep pertanian terpadu yang dilakukan dengan konsisten telah mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat Sakai.
"Kami bangga pada Bang Mus ini. Selama ini hutan kita kelola secara tradisional. Itu baik. Tapi dengan pengelolaan pertanian secara modern, manfaatnya juga terasa bagi masyarakat Sakai," ujar Johan.
Memang, kelompok tani yang dipelopori Mus Mulyadi tak lepas dari andil banyak pihak. Selain yang bersangkutan, juga ada anak-anak muda lainnya yang bersemangat, para tokoh dan batin 8 dan 5, lembaga adat, dan Chevron yang membantu dari awal, lalu diteruskan PHR. Tapi, sosok utamanya tetap Mus Mulyadi.
"Harapan kami, apa yang dilakukan tetap berlanjut bahkan berkembang ke komunitas Sakai lainnya," ujar Johan.
Jadi Teladan
Usaha pertanian terpadu yang dilakukan Mus Mulyadi dan kawan-kawan mendapat apresiasi dari Pertamina Hulu Rokan (PHR). Analis Social Performance PHR yang mengurus corporate social responsibility (CSR) perusahaan ini, Priawansyah menyebut, sejak awal pihaknya telah mengawal usaha yang dilakukan Mus Mulyadi. Sebenarnya banyak CSR yang digelontorkan CPI yang kemudian berganti ke PHR, telah dilakukan untuk masyarakat Sakai. Tapi kebanyakan gagal.
"Salah satu yang berhasil Pak Mulyadi ini. Makanya kami mengapresiasi," ujar Priawansyah.
Salah satu yang membuatnya salut adalah mentalitas kemandirian yang sudah mulai terasah dari Mus Mulyadi dan rekan-rekannya. Khususnya ketika kejadian jebolnya tanggul. Ketika itu, mereka meminta bantuan pembangunan tanggul. Tapi karena anggaran tidak tersedia sesuai angka Rp300 juta itu, maka proposal itu tidak bisa diteruskan. Ternyata Mus Mulyadi tidak menyerah. Dia memilih membangun sendiri dengan dana yang ada dan dicari ke tempat lainnya.
"Kami memang membantu bibit dan lainnya. Tapi tanggul itu dari mereka sendiri. Semangat ini yang menurut kami luar biasa," ujar Priawansyah.
Mentalitas kemandirian ini yang menurutnya perlu ditularkan Mus Mulyadi kepada masyarakat Sakai lainnya. Dalam kenyataannya, ujar Priawansyah, kebanyakan mereka gampang menyerah. Jika dibantu sekali, maka ingin seterusnya. Dibantu kambing, ingin juga dibantu pakannya. Hal ini seharusnya tidak terjadi. Makanya, apa yang dilakukan Mus Mulyadi bisa dijadikan teladan bagi masyarakat Sakai lainnya. PHR bahkan tengah mempersiapkan model yang sama di kawasan Kecamatan Pinggir, tempat komunitas Sakai lainnya.
"Kami harap ini memang dapat dikembangkan ke kawasan lainnya. Yang tak kalah penting itu mentalitasnya," katanya.
Mus Mulyadi dinilai bisa mengembangkan kearifan lokal masyarakat Sakai dari mengandalkan hutan, berladang berpindah, menjadi pertanian terpadu di satu kawasan saja. Di satu lahan itu tersedia ikan, ternak, dan tumbuhan yang dulunya hanya tersedia di hutan alam. Lebih dari itu, yang terpenting adalah mengasah mental kemandirian. Makanya, PHR membuat inkubator karir bekeja sama dengan Universitas Riau. Di inkubator karir ini, tak hanya kemampuan dasar saja yang diolah, tapi juga mentalitas.
Hal senada diungkapkan Manager Social Performance PHR Pinto. Menurut Pinto, pihaknya melihat perlu penguatan dalam masyarakat Sakai untuk menjadi enterpreneur. Hal ini yang masih sulit dikembangkan. Dengan adanya inkubator karir bekerja sama dengan P2K2 Unri, dia berharap lahir Mus Mulyadi-Mus Mulyadi baru yang bisa membuat masyarakat Sakai mandiri.
"Kami memang mendorong muncul local hero lainnya setelah Mus Mulyadi ini. Kami bahkan mendorongnya menjadi pelatih atau trainer bagi rekan-rekan Sakai yang lain," ujar Pinto.
Keberadaan masyarakat Sakai di ring satu kawasan pertambangan yang kini dikelola PHR ini menurutnya strategis. Dengan dilakukan pembinaan, termasuk kearifan lokalnya, maka masyarakat Sakai akan merasa ikut memiliki. Aktivitas penambangan minyak dan gas yang dilakukan PHR memang untuk negara. Tapi masyarakat Sakai turut menikmatinya.
"Mereka akan merasa bagian dari keberadaan perusahaan pertambangan ini dan ikut menjaganya. Itu harapan kami. Makanya, di sisi lain kami memberikan pemberdayaan bagi mereka," ujar Pinto.***