Sebati Alam ala Milenial Sakai

Feature | Sabtu, 20 November 2021 - 14:36 WIB

Sebati Alam ala Milenial Sakai
Para petani Sakai menanam cabai rawit, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Bangkit dari Petaka
Sejak 2014 hingga 2017, kelompok tani Sakai ini berjaya dengan aneka pertanian terpadunya. Mereka bahkan bisa menghasilkan Rp40 juta sebulan dari hasil ternak, pertanian, dan perikanan. Itu sudah di luar biaya lainnya seperti gaji anggota. Para anggota mendapatkan 30 persen dari penjualan per hari. Sebanyak 70 persen masuk ke kas kelompok tani. Tak jarang anggota bisa membawa gaji Rp5 juta per bulan bahkan lebih.

"Kami sudah bisa membangun kantor dan musala," ujar Mus Mulyadi.


Tapi musibah kemudian datang. Tanggul yang dibangun jebol pada 2017. Akibatnya kolam-kolam ikan yang dibangun ikut tersapu bak tsunami menghajar semua bangunan yang ada. Puluhan ribu ikan pun berhamburan dan bergelimpangan. Enam kolam hancur. 60 ton ikan hanyut. Hanya sedikit yang bisa diselamatkan. Banyak ikan yang masuk ke Sungai Banjaka dan seterusnya ke Sungai Pematang Pudu. Tak hanya kolam yang hancur, tapi juga pondok-pondok yang dibangun di sekitar kolam ikut tersapu. Pondok ini digunakan sebagai penyimpan tangguk, keranjang pemilah ikan, kadang pakan. Pondok juga digunakan sebagai tempat memilah ikan. Kerugian tak terkira.

Kondisi ini sempat membuat Mus Mulyadi shock dan nyaris putus asa. Selama beberapa hari dia dan rekan-rekannya hanya bisa memandangi saja. Pernah dia berusaha untuk bangkit, tapi tidak benar-benar bisa. Hancurnya tanggul itu ternyata cukup memukul mentalnya. Sebagai orang Sakai yang terbiasa menerima hasil dari hutan yang tinggal ambil, membuat ulang hasil kerja yang sudah berjalan baik ini sangat berat baginya. Bahkan selama setahun dia tidak benar-benar bangkit dari keterpurukan itu.  

"Selama tahun 2017 itu kami tak bisa apa-apa. Berat sekali," ujarnya.

Pada 2018, dia berusaha kembali membuat tanggul. Proposal pembuatan tanggul ke PT CPI ternyata belum bisa disetujui. Akibatnya, dia berusaha membangun tanggul sendiri dengan biaya sendiri. Ini berbeda dengan sebelumnya, ketika tanggul dibangun sepenuhnya pihak PT CPI. Kendati dibangun sendiri, tapi dia berusaha membangun lebih kokoh. Tingginya mencapai 2,5 meter. Tapi prosesnya juga panjang sehingga tidak bisa juga langsung digunakan.

Pada 2018, Mus Mulyadi dilantik sebagai anggota DPRD Bengkalis, pergantian antar waktu (PAW) dari Syamsu Dalimunthe. Otomatis, waktu dan perhatiannya tersita ke tugas-tugas wakil rakyat. Sisi positifnya, dia mulai memiliki tambahan dana untuk membangun ulang tanggul yang jebol dengan dana juga relatif besar mencapai Rp300 juta itu. Tapi tetap saja pertanian terpadu masyarakat Sakai Pematang Pudu ini belum bisa bangkit sepenuhnya. Pada 2019, setelah masa tugasnya sebagai anggota dewan selesai, dia kembali membangun tanggul itu sebagai modal dasar semua investasi pertanian terpadunya. Tapi baru pada 2020, mereka benar-benar bangkit.

"Mulai dari awal lagi pada 2020 itulah. Kami buat kolam lagi lalu tebar nila. Kemudian lele pada akhir tahun," ujar Mus Mulyadi.

Selama tahun 2021, pelan-pelan mereka kembali bangkit. Satu per satu komoditas perikanan, pertanian, dan peternakan kembali mereka rambah. Dia berharap musibah itu dapat membuat mentalnya lebih kuat sehingga bisa kembali mencapai masa jayanya. Kendati belum sepenuhnya, tapi dia optimis bisa.

"Memang belum seperti dulu," ujarnya

Supermarket dan Apotik yang Hilang
Inisiatif Mus Mulyadi membuat pertanian terpadu bagi masyarakat Sakai disambut baik intelektual Sakai Mohamad Agar Kalipke. Agar yang pernah mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Hamburg University Jerman ini mengungkapkan bahwa terobosan yang dilakukan Mus Mulyadi ini luar biasa. Hal ini bisa menjadi role model bagi masyarakat Sakai. Sebab dengan kondisi yang ada, Sakai tak bisa lagi mengandalkan hutan dan sungai yang dulunya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sakai. Hutan sudah hancur, sungai pun tercemar.

"Jadi, ini patut dicontoh dan dikembangkan pada masyarakat Sakai lainnya. Perlu ada lahan-lahan baru produktif agar pertanian model ini benar-benar bisa dimanfaatkan masyarakat Sakai," ujar Agar.

Menurut Agar, hutan memang menjadi supermarket dan apotik bagi masyarakat Sakai. Semuanya tersedia di alam. Tinggal ambil saja. Makanya, ketika hutan habis, beralih ke kebun sawit perusahaan, lahan pun sudah terjual, maka kondisi Sakai makin terjepit.

"Menurut saya, dengan habisnya hutan, maka Sakai beralih dari surga ke neraka," ujarnya memberikan gambaran.
Potensi "neraka" itu bisa terlihat dari banyaknya masyarakat Sakai yang masuk penjara akibat berbuat kriminal. Dulu, ujar Agar, asal berani, bermodal sebilah parang atau tombak, orang Sakai tinggal masuk ke hutan. Di hutan tersedia aneka makanan dan obat-obatan. Mereka menyebutnya supermarket dan apotik Sakai. Semua makanan ada di hutan, mulai dari ikan, sayur, hewan buruan, umbi-umbian, buah-buahan hingga bumbu dapur. Sakai misalnya menggunakan buah kulim sebagai pengganti bawang. Semua obat-obatan pun tersedia. Ada daun jejauh untuk obat tetegu (ditegur orang halus atau kesurupan). Ada juga getah pudu yang berasa seperti susu dan bisa meningkatkan nafsu makan. Ada lagi akar sejangek untuk obat panas dan kering kerongkongan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook