Di tengah persaingan bisnis semen yang ketat, PT Semen Padang harus bekerja keras agar tetap eksis. Pengalaman sebagai pabrik semen tertua di Indonesia menjadi salah satu kuncinya.
Laporan HARY B KORIUN, Padang
PAGI masih sangat dingin di Bukit Indarung, Padang, Sumatera Barat (Sumbar) ketika Kepala Unit Humas & Kesekretariatan PT Semen Padang (SP), Nur Anita Rahmawati, mengajak para pimpinan media dan wartawan untuk mengikuti sesi pertama Press Tour PT Semen Padang 2022, Kamis (8/12). Sebagian masih di mes, dan sebagian lagi masih sarapan. Namun, dengan cepat mereka merapat ke aula utama Wisma Indarung tersebut.
Di dalam ruangan itu sudah hadir Direktur Keuangan & Umum PT SP, Oktoweri, bersama Kepala Departemen Komunikasi & Hukum Perusahaan, Iskandar Z Lubis. Hadir juga beberapa staf PT SP yang akan memandu dan mendampingi para wartawan dalam tour ke beberapa tempat.
Ada sekitar 40-an pimpinan media dan wartawan dari Riau, Sumbar, Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Jambi yang diundang dalam kegiatan akhir tahun ini. Lima provinsi tersebut adalah daerah potensial pasar semen produksi PT SP. Di lima provinsi tersebut, kata Oktaweri, market share PT SP mencapai 80-90 persen di luar ekspor. Untuk Pulau Sumatra, saat ini mencapai 50-60 persen.
“Kami harus terus bekerja keras untuk mempertahankan pencapaian ini,” ujar Oktaweri.
Saat ini, peta persaingan pasar semen di Indonesia sangat ketat. Ada sekitar 15 merek semen yang kini bertarung di dalam negeri. Untuk Sumatra, saat ini ada tiga pabrik besar yang melakukan produksi, plus beberapa brand lain yang melakukan packing di dengan membeli semen setengah jadi dari pabrik lain. Mereka dari luar Sumatra.
PT SP harus bekerja keras membangun pasarnya dalam persaingan dengan Semen Andalas (sebelumnya bernama Lafarge Semen, grup semen dari Prancis, pabrik di Aceh, kini sudah diakuisisi kembali oleh PT Solusi Bangun Andalas [SBA] dengan brand Semen Andalas) dan Semen Baturaja (Sumatra Selatan, yang menguasai Sumatra Bagian Selatan). Kedua pabrik tersebut sebenarnya sudah masuk dalam holding Semen Indonesia Grup (SIG), tetapi dalam melakukan penetrasi pasar, mereka harus bertarung satu dengan lainnya.
Oktaweri menjelaskan, meski telah tergabung dalam SIG yang berpusat di Gresik, PT SP tetap eksis membangun brand-nya sendiri. Gabungan dari beberapa perusahaan semen besar di Indonesia ini, saat ini menguasai lebih dari 50 persen pasar semen di Indonesia. Holding SIG saat ini sudah mengakuisi beberapa pabrik semen besar Indonesia. Selain PT SP dan Semen Gresik, kini Semen Tonasa (Sulawesi Selatan), Semen Baturaja, Semen Dynamix (sebelumnya Holcim, grup semen asal Swiss yang sebelumnya mengakuisisi Semen Kujang), Semen Andalas, dan Thang Long Cement Company (Vietnam) juga sudah masuk dalam SIG.
Kekuatan ini membuat SIG --termasuk PT SP di dalamnya-- bisa bertarung ketat dengan raksasa semen dunia yang sudah masuk Indonesia seperti Cemex (grup semen asal Meksiko), Italcementi (grup semen asal Italia), Semen Merah Putih, atau Heidelberg Semen (grup semen asal Jerman). Hingga saat ini SIG sudah menguasai pasar Indonesia pada kisaran market share 50-60 persen.
Lokasi pabrik yang sangat strategis di Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Vietnam menjadikan SIG mampu memasok kebutuhan semen di seluruh Indonesia yang didukung ribuan distributor, sub distributor dan toko-toko. Selain penjualan di dalam negeri, SIG juga mengekspor ke beberapa negara antara lain Singapura, Pakistan, Malaysia, Korea, Vietnam, Taiwan, Hongkong, Kamboja, Bangladesh, Yaman, Norfolk USA, Australia, Jerman, Kepulauan Canary, Mauritius, Nigeria, Mozambik, Gambia, Benin, Madagaskar dan negara lainnya.
Khusus untuk pasar dalam negeri, jelas Oktoweri, saat ini terjadi over suplay. Ini terjadi karena proyeksi pembangunan infrastruktur secara nasional yang besar, ternyata berbeda dengan riil permintaan pasar (demand). Pandemi corona menjadi salah satu penghambatnya. Akibatnya, produksi melimpah. Di PT SP sendiri, dari lima pabrik yang masih beroperasi --selain Indarung I yang sudah dijadikan museum-- tidak semuanya dioperasikan untuk menghindari over suplay tersebut.
“Saat ini proyeksi produksi Semen Padang 8,9 juta ton per tahun. Akhir Desember ini akan diketahui realisasinya berapa. Kami berharap proyeksi tersebut tercapai,” ujar Oktoweri lagi.
Saat ini PT SP memiliki enam pabrik, yakni Indarung I, Indarung II, Indarung III, Indarung IV, Indarung V, dan Indarung VI di mana Indarung I sudah tidak beroperasi lagi dan saat ini sudah menjadi Museum Semen. PT SP juga memiliki beberapa tempat pengantongan semen (packing) yakni di Teluk Bayur (Padang), Belawan (Medan), Pelabuhan Malahayati dan Lokseumawe (Aceh), Dumai (Riau), Batam (Kepri), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Karang (Lampung), dan Ciwandan (Cilegon). Tempat packing tersebut dibangun untuk mempermudah pelayanan di masing-masing wilayah yang dianggap sebagai pasar besar PT SP selain di lima provinsi terdekat di Sumatra.
Khusus untuk Riau yang merupakan salah satu pasar terbesar dengan market share hampir 90 persen, PT SP sangat intens dalam merawat dan membangun kepercayaan. Hampir semua pembangunan infrastruktur, baik jalan, jembatan, gedung, pelabuhan, atau tol yang saat ini tengah berlangsung, menggunakan produk perusahaan semen tertua di Indonesia dan Asia Tenggara ini.
“Riau adalah salah satu pasar strategis dan terdekat kami. Itu sudah terjadi cukup lama. Kami akan terus bekerja keras membangun dan merawat pasar terbesar ini. Bagi kami, Riau sangat istimewa karena market share kami selalu tumbuh dan besar di daerah ini,” ujar Kepala Unit Humas & Kesekretariatan PT SP, Nur Anita Rahmawati, sambil tersenyum lebar.***