Jelang hari kesepuluh pikiran semakin buntu karena tak tahu lagi mau bikin apa. Bahkan membuat lanjutan tulisan pun malas. Pikiran hanya fokus untuk pulang, maklum tahun ini dengan kondisi ini memaksa saya tidak bisa nyekar ke makam orang tua seperti kebiasaan Ramadan pada umumnya. Ditambah belum jelasnya hasil swab dari Jakarta membuat saya pasrah malam itu harus sahur di rumah sakit.
Namun menjelang jam tiga dokter yang bertanggung jawab atas saya melalui video call menyatakan hasil swab saya negatif dan saya boleh pulang. Bagai dapat lotere dengan sigap saya langsung berkemas dan menghubungi istri perihal informasi bahagia ini. Siapa yang tak bahagia bertarawih dan sahur pertama di rumah usai dikurung dalam ruang isolasi jauh dari keluarga. Pukul 15.30 istri sudah di rumah sakit mengurus administrasi kepulangan saya. Namun hingga menjelang magrib urusan administrasi saya tak juga kelar. Sampai istri saya mengatakan bahwasanya pihak rumah sakit ingin bicara, tercegat rasa hati ini ada apa gerangan. Melalui telepon istri saya, pihak rumah sakit menjelaskan bahwasanya dokter yang menangani saya memohon maaf atas kekeliruannya, dia mengatakan bahwasanya hasil swab negatif saya baru satu, sedangkan syarat untuk pulang itu minimal hasil swab negatif harus dua. Artinya swab saya satu lagi masih ada di Jakarta dan saya harus kembali dirawat dan belum boleh pulang.
Hancur hati saat itu ketika mendengar penjelasan rumah sakit bahwasanya laporan saya kurang lengkap untuk mengizinkan saya pulang. Ditambah anak bungsu yang menangis karena sudah kadung rindu namun batal. Istri menenangkan rasa marah saya ketika perasaan ini dipermainkan. Ketika hendak magrib dan istri telah pulang usai salat saya mencoba mencari hikmah. Akhirnya hati ini bergumam, “Ini bagian ujian untuk aku. Begitu mudah bagi Allah untuk mengubah satu ketentuan, meski kita tak bahagia.”
Lalu saya bawa mengaji dan Salat Isya. Lalu bertarawih sendiri dalam kamar isolasi mencoba kembali untuk tenang di antara barang yang sudah rapi tertata untuk segera pulang namun batal. Malam, sahur seadanya. Salat Subuh sendiri, kembali berdoa semoga saya dan umat Muslim pada umumnya diberi kesabaran dalam ibadah puasa tahun ini yang penuh dengan ujian. Selamat datang Ramadan Kareem.
Swab Negatif Dua Kali
Sore itu asa bahagia itu datang kembali. Dokter Rohani yang mengawasi saya datang langsung ke kamar dan mengabari bahwa hasil swab saya dua-duanya negatif. Saya gembira artinya saya boleh pulang, tapi biar gak pehape, seperti dua hari lalu saya kembali tanyakan apakah saya benar-benar pulang?
Dokter pun mengiyakan, kami lalu saling tos-tosan dan berfoto didampingi perawat Hasbi. Setelah dapat kabar itu, saya langsung menghubungi anak saya. Sama dengan saya, mereka menanggapinya nggak berani segembira seperti sebelumnya. Bahkan si sulung bergumam.
“Jangan sampai bu dokter nge-prank lagi,” sembari saya yakinkan kali ini beneran nggak pakai prank.
Sebenarnya sebelum pulang, ingin rasanya mengucapkan terima kasih paling dalam untuk para perawat yang merawat diri saya selama isolasi. Hari itu giliran perawat Hani yang jaga setelah bergantian dengan Hasbi. Terdengar teriakan dari luar jendela di seberang, “Pulang Bang?” tanya dia. Saya jawab, “Iya.”
“Selamat pulang ya Bang,” timpalnya. Lalu saya bertanya, “Ini siapa?” Dia menjawab, “Ini Al Pak,” katanya.
Selain Al atau Diyal, ada Rido, Hasbi, dan Hani yang tak satu pun saya pernah melihat wajah mereka yang terhalang oleh helm dan masker. “Ingat kami ya Bang,” ujar Hani saat saya mulai membawa tas.
“Bagaimana mungkin saya melupakan kalian. Kalian bagai saudara meski bukan sedarah,” tak terasa air mata menetes pelan mengiringi langkah saya.
Jeritan mereka sebagai garda terdepan yang sampai sekarang belum ada kejelasan soal insentif dan bantuan pemerintah terhadap kesejahteraan mereka selama masa pendemi. Semoga jeritan itu didengar pemerintah daerah. Karena risiko besarnya mereka jika terpapar, dan itu sangat mungkin. Ditambah mereka juga punya keluarga yang memerlukan tulang punggung.
Sesaat sampai di rumah jerit anak dari dalam rumah berhambur keluar ingin memeluk. Saya larang. “Biar Waled (sebutan ayah dari anak-anak untuk saya) mandi dulu, bersih-bersih karena banyak kuman,” ujar saya sambil berlalu.
Tetangga sebelah rumah datang tanpa rasa takut, saling cerita meski singkat karena sebentar lagi waktunya berbuka berpuasa. Segelas teh panas saya habiskan untuk berbuka sebagai siraman pertama tenggorokan ini, segar. Beberapa kue pembuka sudah saya santap. Lega rasanya kembali ke rumah, berkumpul bersama anak dan istri. Semoga Allah angkat masalah ini sehingga kita bisa terhindar dari wabah ini.(egp/ted)