KISAH PARA KSATRIA PEMADAM API

"Tuhan Tak Akan Memasukkan Pemadam Kebakaran ke Neraka, karena…"

Feature | Selasa, 07 Januari 2020 - 00:20 WIB

"Tuhan Tak Akan Memasukkan Pemadam Kebakaran ke Neraka, karena…"
Salah satu anggota tim Manggala Agni Daops Dumai, Azrai, saat melakukan pemadaman di Kelurahan Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Rabu, 10 April 2019 lalu. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Melihat bagaimana mereka bertarung melawan api di garda terdepan, rasanya Tuhan tak akan memasukkan para pemadam kebakaran itu ke dalam neraka. Sebab, jika Tuhan memasukkan ke sana, api neraka akan mereka padamkan.

Laporan Hary  B Kori’un (Dumai)


SORE itu, Rabu, 10 April 2019,  jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 16.14 WIB. Ketika mobil  jenis Xenia memasuki jalanan tanah, di Jalan Dahlia, Kelurahan Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, debu terlihat berterbangan di bekas tanah yang dilewati. Goyangan sering terasa kuat. Kadang ban menginjak tanah lunak, kadang kayu-kayu tua yang masih berserakan di jalan. Suara gardan nyangkut, terdengar berkali-kali.

Ini salah satu akses jalan menuju lokasi terbakarnya hutan dan semak tanah gambut yang membuat udara Dumai dan sekitarnya tak sehat tersebut. Selain bau asap yang masih menyesakkan hidung, bau semak belukar bekas kebakaran dan tanah hitam, menyeruak bersamaan.

 Di perjalanan 500 meter pertama, terlihat di sebelah kanan beberapa pemadam dari kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha menyemprotkan air ke semak-semak yang masih mengepulkan asap, dari air parit yang menggenang. Tak banyak memang. Terlihat ini adalah upaya untuk melakukan pemadaman sambungan, untuk melihat api yang masih menyala setelah sebelumnya dipadamkan.

 Lalu, di sekitar 500 meter kedua jalan tersebut, juga terlihat kesatuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD/Basarda) Riau yang sedang melakukan penyemprotan. Dibanding di kesatuan TNI tadi, kondisi lahan yang terbakar di sini, masih cukup banyak terlihat kepulan asap di beberapa bagian. Nampaknya, ini juga upaya berlapis untuk memadamkan api yang kembali hidup di lahan gambut setelah sebelumnya dipadamkan oleh tim lain. Sekitar lima lelaki terlihat bekerja keras dengan peran masing-masing di tim ini.

 Sekitar 600 atau 700 meter lagi, terlihat api masih menjilat-jilat. Hari memang menuju senja. Matahari sudah condong ke barat, ke arah tenggelam. Namun, panas terik sangat terasa. Hawa panas itu semakin terasa dua kali lipat, karena di arah barat itu, api terlihat masih terlihat dengan rakus memamah semak dan belukar. Memakan semak kering dengan cepat. Tidak hanya di satu tempat, tetapi di banyak tempat.

 Bekas jilatan api itu meninggalkan bara. Asap mengepul. Membumbung tinggi ke udara, bersatu dengan asap dari beberapa tempat yang terbakar lainnya. Itulah yang membuat udara di atas Kota Dumai dan di daerah sekitarnya terlihat pekat. Menjadi tak sehat. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menjadi ancaman yang menakutkan. Membuat siapapun resah.

 Inilah tim yang menjadi garda terdepan dalam proses pemadaman api. Mereka adalah tim pemadam Manggala Agni dari Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan (LKHK). Ada sekitar sembilan lelaki berada di sana. Empat yang lainnya terlihat sedang berusaha menyemprotkan air dari selang ke api yang masih menyala. Sekitar 25 meter dari air parit yang disedot mesin penyedot air yang ujungnya dipegang oleh Azrai, dibantu oleh Johan yang berada sekitar 2 meter di belakangnya. Lama Azrai dengan tekun menyemprotkan air ke api yang menyala. Hingga ke lubang-lubang tanah yang ada kayunya, yang membusuk, agar api benar-benar padam.

 “Di tanah gambut seperti ini, penyemprotan harus dilakukan hingga ke dalam tanah agar api benar-benar mati,” kata Azrai sambil terus melakukan penyemprotan.  

***

AZRAI bukan tipe seorang  pengeluh. Lelaki kelahiran Apiapi, Bengkalis, 33 tahun yang lalu ini sudah kenyang pengalaman memadamkan api di berbagai tempat. Medannya pun berbeda-beda.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Dumai sudah berlangsung dua bulan lebih. Di banyak titik. Kawasan di Kelurahan Teluk Makmur, Medang Kampai, adalah titik terkini dan cukup parah. Medan yang penuh tantangan. Tanah rawa gambut menyulitkan dalam proses pemadaman. Untungnya sumber air didapat dengan mudah. Di sepanjang Jl Dahlia, di kanan-kiri adalah parit besar yang berisi air. Warnanya hitam kecoklatan. Mirip air teh. Inilah sumber air yang dipakai untuk pemadaman.

Azrai baru sebulan ikut melakukan pemadaman di Teluk Makmur ini. Sejak awal tahun 2019, tepatnya dari 1 Januari, dia dan regunya melakukan pemadaman Sei Sembilan. Lalu pindah ke perbatasan Rokan Hilir (Rohil)-Dumai. Di Simpang Pemburu tepatnya. Ini medan yang mahaberat. Tanah rawa gambut dengan kedalaman lebih satu meter. Selesai dari sana, pindah ke Pulau Rupat. Satu bulan full di sana.

Di semua medan pemadaman itu, tim Manggala Agni selalu berada di garda paling depan. Hampir semua medan sulit. Di Sei Sembilan, Rohil, maupun di Rupat, medannya hampir-hampir mirip. Tanah rawa gambut. Sulit memadamkannya, harus disemprot lama di titik api yang menyala. Apalagi kalau api sudah membakar tunggul kayu. Tunggul besar maupun kecil. Api dipastikan masuk ke dalam tanah. Dalam kondisi seperti ini, penyemprotan harus dilakukan terus-menerus dan lama.

“Kadang kami sudah yakin api padam karena diguyur air sangat lama. Tapi tak sampai sepuluh menit kami pindah, api menyala lagi...” kata Azrai sambil tetap fokus pada api di sebuah lubang yang sedang disemprotnya. Nampaknya ada kayu yang terbakar di dalam tanah.

“Lalu, harus balik lagi memadamkan api itu?” tanya saya.

“Iya,” jawabnya. “Harus balik...”

Dia balik lagi dan melakukan pemadaman. Dan itu terjadi di banyak titik. Harus berulang-ulang. Kalau tidak, percuma. Pemadaman yang tak tuntas hasilnya mubazir karena akan terbakar lagi.

“Kan ada tim dari Basarnas Provinsi dan TNI yang menyisir ulang di belakang?” tanya saya lagi.

Azrai menghentikan penyemprotannya sejenak. Dia hanya tersenyum. Senyum yang penuh arti. Ada balutan keletihan dan rasa tak percaya pada senyum itu.

Katanya kemudian, “Yang jelas, kami tak mau mengambil risiko. Kami harus memadamkannya dengan tuntas.”

Menjadi petugas pemadam kebakaran, apalagi untuk kebakaran hutan dan lahan, perlu fisik dan kemauan yang kuat. Kalau tidak, biasanya mereka hanya tahan sebentar, kemudian berhenti. Sebab, pemadam api Karhutla berbeda dengan pemadam api kebakaran biasa. Meskipun punya tingkat kesulitan sendiri-sendiri. Jika pemadam kebakaran biasa, mereka tak akan berada berhari-hari, berminggu, atau berbulan di lokasi. Saat memadamkan kebakaran di rumah atau gedung, paling lama mungkin hanya dalam hitungan jam.

Jika fisik dan keteguhan hati tak kuat, pasti banyak pemadam kebakaran hutan yang patah hati. Azrai pernah merasakan itu. Patah hati. Berhari-hari dia dan regunya memadamkan api, tapi api tak mati-mati. Justru terus meluas. Itu terjadi di Pulau Rupat, Bengkalis. Sebulan berada di sana, di tengah kebakaran hutan yang hebat, medan yang sulit, dan “amunisi” –bekal makanan dan segala kebutuhan hidup lainnya— yang terus menipis, mereka harus tetap fokus pada pemadaman di hutan belantara.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook