“Biasanya yang membawa kayu ini empat orang,” ujar Ujang Leni.
Persiapan lainnya yang memakan waktu lama adalah membuat kanal. Sebab, jarang sekali kawasan hutan yang berdekatan langsung dengan aliran sungai. Kanal ini diperlukan untuk membawa kayu menuju sungai terdekat. Sepanjang aktivitas balak liarnya, sejak era 1978 hingga 2000 atau lebih dua dasawarsa, Ujang Leni sempat membuat tiga kanal. Semuanya dilakukan secara manual, dengan cangkul dan alat seadanya. Tidak ada alat berat. Kanal-kanal ini memiliki lebar sekurangnya tiga meter, dalam dua meter dengan panjang bervariasi. Rata-rata, panjang kanal yang dibuat khusus ini mencapai 3 km. Kanal dibuat menembus Sungai Pelalawan yang lebih lebar dan bisa dimasuki tongkang. Pohon yang ditebang dibawa melalui ongkak untuk dikumpulkan di tepian kanal. Setelah itu diikat dan diapungkan di kanal sambil menunggu jemputan dari tauke. Dalam beberapa periode, bisa sekali sepekan, akan datang tauke pembeli. Mereka akan membawa kayu itu dengan cara dihanyutkan hingga ke Sungai Pelalawan yang kemudian beraliran ke Sungai Kampar.
Pohon berdiameter 40 cm biasanya memiliki tinggi batang hingga 20 meter. Bagian atas berupa dahan dan ranting tidak bisa dijadikan log. Pohon setinggi 20 meter bisa dipotong jadi kayu log menjadi 16 meter. Dalam kondisi ini, pohon dipotong dua menggunakan kapak. Satu kayu log berukuran delapan meter. Kayu seukuran itu yang diseret sepanjang ongkak. Kadang dipotong dua lagi jadi empat meter per kayu log.
“Jarak menuju kanal sekitar 500 meter hingga satu kilometer. Sepanjang jalan itu kayu diseret. Lumayanlah beratnya,” ujarnya.
Risiko terparah dalam semua proses ini adalah tertimpa pohon yang ditumbangkan. Makanya, ada berbagai perhitungan yang dilakukan, dan itu diwariskan ilmunya secara turun-temurun. Misalnya dilihat kecenderungan miring pohon. Jika tegak lurus, maka dilihat kecenderungan dahan dan daun yang banyak. Ke mana arah dahan yang banyak, maka ke sanalah biasanya pohon akan tumbang. Para pembalak biasanya akan mengambil tempat pemotongan pohon dua meter dari atas tanah. Mereka membuat tangga dan memanjat. Sebab, tidak bisa memotong pohon dengan kapak atau beliung dari dasar pohon. Terlalu lebar akar atau tunir batang yang harus dipotong. Diameter tunirnya bisa berkali-kali lipat. Beberapa jenis pohon seperti mersawa bahkan bisa memiliki diameter tunir hingga tiga meter, padahal diameter batangnya hanya 50-60 cm.
Semua pekerjaan yang dilakukan para pembalak ini tanpa prosedur tetap (protap). Apa yang dilakukan generasi sebelumnya, dilakukan juga oleh mereka. Kadang dengan beberapa modifikasi. Baik perlengkapan, pakaian, peralatan, dilakukan seadanya.
“Prosedur kami celana pendek tanpa alas kaki. Kadang buka baju juga,” ujarnya terkekeh.
Kendati seluruh proses pembalakan bisa berlangsung hingga hitungan bulan, tapi terkadang mereka tidak lama di hutan. Antara tiga hari hingga sepekan hingga perbekalan habis. Jarak hutan dari perkampungan memang tak terlalu jauh. Tapi kadang perlu waktu empat hingga lima jam perjalanan jalan kaki. Mereka biasanya mandah atau membuat pemondokan di hutan. Selain membawa bekal dari rumah, mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk makanan, seperti ikan, atau menjerat burung hingga pelanduk. Hasilnya bisa juga dibawa pulang.
Smokel ke Negeri Jiran
Selain menjadi pembalak, pekerjaan lain yang pernah dilakoni Ujang Leni adalah berdagang komoditas ke Negeri Jiran, Singapura dan Malaysia. Paling sering ke Singapura. Pekerjaan ini juga penuh risiko. Risiko pertama adalah dalam pelayaran. Dia harus menempuh jalan menuju Negeri Jiran melalui bono di muara Sungai Kampar. Bono adalah gelombang besar akibat terjadinya pertemuan arus laut dan sungai di muara Sungai Kampar. Bono tidak bisa dihindari sepenuhnya. Ada kalanya memang reda, tapi tetap berbahaya. Hanya nakhoda yang lihai yang bisa menghadapi arus gelombang bono di muara Sungai Kampar ini. Beberapa kasus kapal yang tenggelam akibat bono menjadi kisah horor di sepanjang perjalanan. Banyak juga yang mati. Ketika itu, satu-satunya jalan menuju Singapura adalah melalui jalan ini.
Biasanya, mereka membawa hasil Bumi untuk dijual ke Singapura. Lalu dari Negeri Singa membeli produk elektronik dan dijual pula ke dalam negeri. Keluar masuk Negeri Jiran pun dilakukan secara ilegal. Inilah perdagangan lintas batas yang ketika itu disebut smokel alias penyeludupan. Risikonya besar karena banyak yang tertangkap. Beberapa rekannya sempat ditangkap aparat Negeri Jiran.
“Saya tak lama main smokel, tapi pernah. Risikonya juga besar,” ujarnya.
Transformasi sang Pembalak
Sekitar dua dasawarsa Ujang Leni melakukan pembalakan liar alias ilegal logging. Di antara waktu-waktu itu, ketika aparat melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam BBKSDA (BBKSDA) Riau dengan polisi hutannya melakukan pengetatan, dia melakukan pekerjaan lain. Di antaranya smokel. Tapi pembalakan liar tetap jadi pekerjaan utamanya. Puncaknya adalah ketika reformasi bergulir pada 1998. Ilegal logging makin menjadi-jadi akibat euforia.
Tapi kemudian terjadi perubahan besar. Pada tahun 2000, dia mendapatkan pencerahan baru ketika pembalakan yang dilakukannya kemudian bersentuhan dengan konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Ternyata “wilayah kerjanya” bersinggungan dengan wilayah kerja atau konsesi PT RAPP. Tak hanya berhadapan dengan petugas RAPP, aparat keamanan dan BBKSDA juga mengintai. Pengetatan demi pengetatan yang dilakukan aparat membuatnya nyaris tak memiliki ruang gerak. Beberapa rekan pembalak pada kelompok lain sempat ditangkap. Sampai kemudian pihak RAPP yang justru memintanya bergabung. Tentu bukan sebagai pembalak liar, melainkan pembalak yang sah. Dia diminta membalak di hutan yang ditanam alias hutan tanaman industri (HTI). Awalnya dia merasa gamang.