Ia memulai bertani dari nol. Latif banyak belajar dari seorang temannya yang sudah lebih dahulu bercocok tanam semangka. Menurut Latif, ia memilih bertani semangka karena di tahun-tahun pertama prospeknya sangat bagus.
“Dulu awalnya memilih bertani semangka karena di tahun-tahun pertama itu prospeknya sangat bagus,’’ sebutnya.
Tapi, setahun terakhir, ia mengaku cukup kesulitan. Tapi hal itu lebih dipengaruhi karena cuaca yang tak menentu.
‘’Satu tahun terakhir ini mulai susah. Permasalahannya itu ada di cuaca yang semakin tak menentu akhir-akhir ini. Kadang hujan kadang tidak. Musim sudah semakin tidak menentu. Cuaca ekstrem sekali sekarang, kadang hujan selebat-lebatnya, kadang panas, kadang ada hujan buatan juga kan? Sementara semangka ini baiknya mendapat cuaca yang stabil. Tidak panas terik, tidak juga berlebih air. Lebih baiknya saat musim kering, karena kalau banyak air justru bisa rusak bahkan busuk. Jadinya, kualitas panen juga tak bisa diperkirakan,” ungkap Latif.
Dari berkebun semangka, ayah tiga anak ini mampu menopang keperluan rumah tangga. Anak sulungnya kuliah semester dua di Universitas Negeri Lampung, anak keduanya di SMP dan anak bungsunya berusia tiga tahun. Istrinya membuka kedai kelontong.
“Keuntungan sekali panen per tiga bulan bisa mencapai 15 ton. Tergantung cuaca. Harga jual Rp3.500 rupiah per kilogram. Jadi bisa mendapat keuntungan sampai Rp52,5 juta. Kemudian dikeluarkan biaya bibit dan perawatan Rp15 juta. Sewa lahan per sekali musim panen Rp1 juta dan sisanya menjadi keuntungan pribadi. Bersihnya dapat Rp36,5 juta,” ujar Latif.(cr8-bersambung)