Pergerakan Rupiah Dinilai Terlalu Kuat

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 11 Juni 2020 - 10:59 WIB

Pergerakan Rupiah Dinilai Terlalu Kuat

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Usai melemah di hadapan mata uang lain Maret lalu, belakangan nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan. Namun, adanya penguatan nilai tukar rupiah itu juga diiringi adanya kekhawatiran.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memandang, penguatan rupiah terlalu kuat. Meski mengapresiasi kinerja Bank Indonesia (BI), namun Airlangga khawatir penguatan yang terlalu tajam akan membawa dampak negatif pada daya saing.


"Terkait dolar ini operasi moneternya Gubernur (BI) baik. Cuma ini agak terlalu kuat nih Pak Gubernur, jadi daya saing kita agak alarming juga nih. Jadi kekuatan Pak Gubernur nih harus di-adjust sedikit," ujarnya pada video conference, Selasa (9/6) malam.

Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat, rupiah kemarin (10/6) berada pada posisi Rp14.803 per dolar AS. Posisi itu melemah 110 poin atau 0,79 persen dari posisi Rp13.973 pada Selasa (9/6).

Meski dalam perdagangan kemarin ditutup melemah, namun jika dilihat dari tren pergerakan sejak awal bulan ini memang rupiah menunjukkan lebih banyak penguatan daripada pelemahan.

Meski begitu, Gubernur BI Perry Warjiyo meminta Airlangga untuk tidak cemas. Perry memastikan nilai tukar rupiah tetap kompetitif untuk kegiatan ekspor-impor. Selain itu, rupiah juga masih undervalue atau di bawah nilai semestinya. Praktis, masih berpotensi menguat.

Dia menjelaskan, nilai tukar mata uang dipengaruhi faktor fundamental dan teknikal. "Fundamental itu inflasi, defisit transaksi berjalan, serta perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri," terang pria asal Sukoharjo tersebut. Tercatat, inflasi pada Mei rendah dengan 0,07 persen month to month dan 2,19 persen secara tahunan.

Begitu pula, defisit transaksi berjalan triwulan I 2020 terpantau rendah. Yakni 1,5 persen PDB (produk domestik bruto). Selain itu, perbedaan antara suku bunga dalam dan luar negeri yang tinggi.

"Yield SBN 10 tahun Indonesia sebesar 7,06 persen sedangan yield US Treasury Note 10 tahun sebesar 0,8 persen. Sehingga yield spread sebesar 6,2 persen," urai Perry.

Sedangkan, faktor teknikal adalah premi risiko. Pria yang juga Ketua Umum ISEI itu menjelaskan, premi risiko salah satu ukurannya yaitu credit default swap (CDS). Tercatat, premi CDS Indonesia lima tahun turun ke 126,78 bps per 4 Juni.

Meski demikian, kata Perry, angka tersebut masih tinggi dibandingkan premi CDS Indonesia lima tahun sebelum Covid-19. Yakni sebesar 66-68 bps.

"Kami tentu menimbang nilai tukar rupiah tetap bagus untuk ekspor, juga tidak menjadi kendala untuk impor. Jangka menengah dan panjang dengan fundamental yang bagus akan mendukung stabilitas ekonomi," ucap Perry.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pergerakan rupiah yang melemah kemarin dipicu usai adanya pernyataan dari pemerintah terkait tren penguatan rupiah yang cenderung mengurangi daya saing dari produk eskpor Tanah Air. Begitu pula IHSG yang merosot 2 persen sejak awal perdagangan dibuka kemarin dan ditutup melemah 2,3 persen ke level 4.921. Disertai dengan net sell investor asing di pasar saham sebesar 36,5 juta dolar AS.

Pelemahan rupiah dan IHSG juga dipengaruhi oleh antisipasi investor asing jelang rapat FOMC bulan Juni. Mengingat, suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan tetap. "Menurut saya pengumuman jumlah kasus Covid-19 per hari ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi pelemahan di pasar keuangan domestik. Meski menjadi atensi pasar," papar Josua kepada JPG.

Untuk perkembangan rupiah dalam jangka pendek, lanjut dia, dipengaruhi oleh keputusan The Fed tadi malam. Namun mempertimbangkan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dan ditopang oleh peningkatan cadangan devisa, potensi capital flight dari pasar keuangan domestik diperkirakan akan cenderung terbatas.(dee/han/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook