Dalam pandangan Tomy Winata, kemajuan Indonesia sepuluh tahun mendatang ditentukan hal yang amat mendasar. Yakni perbaikan sektor riil yang mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat akar rumput.
"TANPA melakukan itu, rasanya susah membayangkan bagaimana Indonesia sepuluh tahun yang akan datang," ujar Tomy dalam perbincangan santai di Hotel Borobudur, penginapan bintang lima di Jakarta milik pendiri Grup Artha Graha tersebut, Senin (21/12). Sore itu, dengan didampingi sejumlah stafnya, Tomy meluangkan waktu untuk bicara tentang masa depan Indonesia.Pria kelahiran Pontianak (Kalimantan Barat) tersebut menyatakan, para pemangku kebijakan di Indonesia perlu memperbaiki sektor riil dan peduli terhadap ekonomi kerakyatan.
Kemandirian pangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) harus menyentuh masyarakat di akar rumput yang tersebar di desa dan kampung-kampung.
Peningkatan kualitas SDM, menurut Tomy, tak cukup hanya ditempuh lewat pendidikan. Bagi dia, struktur penunjang SDM ada pada makanan bergizi. TW, begitu Tomy Winata biasa disapa, sangat risau atas fenomena makanan bergizi untuk anak- anak yang kini mulai terabaikan.
”Pemerintah jangan mengabaikan gizi anak-anak yang ada di desa dan perkampungan. Jangan biarkan mereka jadi generasi mi instan dan makanan instan lainnya,” tutur pemilik Sudirman Central Business District (SCBD), kawasan bisnis terpadu pertama dan paling prestisius di Tanah Air tersebut.
Menurut TW, dulu anak-anak kecil berangkat sekolah membawa bekal makanan bergizi dari orangtuanya. Sampai populer jargon empat sehat lima sempurna.
"Kalau sekarang tidak. Berangkat ke sekolah bawa bekal mi instan," candanya.
Dia juga masih ingat betul bagaimana zaman sekolah dulu banyak tersedia jajanan sehat, salah satunya kacang-kacangan.
”Sekarang instant foods semua. Bagaimana bisa ada mens sana in corpore sano (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat, red)?” ungkapnya.
Tomy yang juga aktif dalam kegiatan sosial, terutama lewat Artha Graha Peduli, risau ketika berkunjung ke beberapa daerah. Dia melihat penganan anak-anak dan masyarakat desa bukan lagi hidangan berprotein.
”Dulu saya masih banyak melihat orang-orang makan petai cina dan teri. Sekarang nyaris tidak ada, lah terinya diekspor semua,” ucapnya.