JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Selama bulan ini tidak ada lagi ekspor batu bara. Itu terjadi setelah pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melarang ekspor emas hitam sejak 1 hingga 31 Januari 2022. Hal tersebut tercantum dalam surat Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang dikeluarkan pada 31 Desember 2021.
Kebijakan itu diambil karena defisit pasokan batu bara untuk sektor kelistrikan dalam negeri. "Persediaan batu bara pada PLTU grup PLN dan Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah sehingga bisa mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional," jelas Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam surat tersebut.
Karena itu, pemegang IUP (izin usaha pertambangan) atau IUPK (izin usaha pertambangan khusus) wajib mengutamakan kebutuhan batu bara dalam negeri. Kementerian ESDM menyebutkan, ekspor boleh dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan tanah air.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung pasokan batu bara domestik untuk pasokan listrik nasional. Namun, mereka menyayangkan kebijakan sepihak dan tergesa-gesa yang diambil pemerintah terkait dengan larangan ekspor. Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, saat ini Pemerintah Indonesia mencoba untuk memulihkan perekonomian nasional yang sempat limbung dihantam pandemi.
"Pemerintah berupaya memulihkan perekonomian nasional ini tidak sendirian, tapi bersama-sama pelaku usaha. Ada peran penting pelaku usaha dalam memulihkan ekonomi nasional pada masa pandemi. Jadi, kami sangat berharap setiap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional seperti larangan ekspor batu bara ini harus dibicarakan bersama," ujarnya, kemarin (3/1).
Apalagi, saat ini perekonomian nasional sempat mengalami percepatan pemulihan akibat booming komoditas yang sangat dibutuhkan pasar global. Termasuk batu bara. Kadin melihat banyak negara yang membutuhkan emas hitam dalam kapasitas besar dan harga tinggi. "Itu untuk menghidupkan kembali industrinya yang sempat mati suri akibat pandemi," tuturnya.
Terkait klaim langkanya pasokan, hasil penelusuran Kadin, lanjut Arsjad, tidak semua PLTU grup PLN, termasuk IPP, mengalami kondisi kritis persediaan batu bara. Selain itu, pasokan ke masing-masing PLTU sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batu bara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok.
"Banyak anggota Kadin Indonesia yang merupakan perusahaan pemasok batu bara dan mereka telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak. Serta, aturan penjualan untuk kelistrikan nasional sebesar 25 persen sebagaimana diatur dalam Kepmen 139/2021, bahkan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut sesuai harga untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP," jelas Arsjad.
Dia menambahkan, Kadin berharap pemerintah dapat menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan sistem sapu jagat kepada seluruh perusahaan batu bara. "Ditambah lagi, kebutuhan PLN kurang dari 50 persen dari jumlah produksi nasional dan pemberlakuan sistem ini akan mengurangi PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Serta, pelaku bisnis harus menanggung biaya demurrage yang cukup signifikan," urainya.
Arsjad meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut. Pasalnya, banyak perusahaan batu bara nasional yang juga terikat kontrak dengan luar negeri. Selain itu, kebijakan tersebut akan memperburuk citra pemerintah terkait dengan konsistensi kebijakan dalam berbisnis. "Nama baik Indonesia sebagai pemasok batu bara dunia akan anjlok. Selain itu, upaya kita untuk menarik investasi, memperlihatkan diri sebagai negara yang ramah investor dan iklim berusaha yang pasti dan dilindungi hukum akan turun reputasinya," tegasnya.(agf/c7/dio/jpg)