JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Indonesia menjadi satu-satunya negara pemilik hutan hujan tropis yang mendapat apresisi Internasional atas keberhasilannya menurunkan angka deforestasi. Jika dibandingkan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lain di dunia seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia angka laju deforestasi Indonesia jauh lebih rendah, hal ini berdasarkan data presentase perubahan dari tahun 2017 ke tahun 2018.
“Jika dilihat tren deforestasi berdasarkan data sebelumnya, maka tahun ini pengurangan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Hal ini menunjukan bahwa, berbagai upaya yang dilakukan KLHK terakhir ini menunjukkan hasil yang signifikan,” ujar Belinda Arunawati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, KLHK pada jumpa pers di Jakarta, (8/5).
Belinda menambahkan bahwa upaya Pemerintah melalui KLHK yang signifikan mengurangi angka deforestasi adalah pemberlakuan Moratorium Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut melalui penerbitan Inpres Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, kemudian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Upaya lainnya seperti Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan (HPK) untuk sektor non kehutanan, Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) juga memberikan penambahan dampak pada penurunan deforestasi.
Hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa, luas lahan berhutan adalah 93,5 juta ha, di mana 71,1 persen atau 85,6 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Kemudian deforestasi netto tahun 2017 -2018 di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 0,44 juta ha, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 0,49 juta ha, dengan dikurangi reforestasi sebesar 0,05 juta ha. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 0,3 juta ha, di mana 51,8 persen atau 0,16 juta ha berada di dalam kawasan hutan, dan sisanya seluas 0,15 juta ha di luar kawasan hutan.
"Angka yang keluar terkait data kawasan hutan itu berasal dari sistem monitoring hutan (SIMONTANA) yang dibangun KLHK yang sangat baik dalam memberikan data-data yang akurat, konsisten dan terpercaya. Sistem SIMONTANA ini tidak hanya memantau hutan yang didalam kawasan hutan tetapi di seluruh daratan di Indonesia," lanjut Belinda.
Sejalan dengan hasil pemantauan tingkat nasional yang dilakukan oleh KLHK, di tingkat global, pemantauan hutan yang dilakukan oleh University of Maryland melalui GLAD (Global Land Analysis and Discovery), dan dirilis oleh Global Forest Watch (GFW) serta dikutip oleh World Recources Institut (WRI) Indonesia. Dari pemantauan independen tersebut tercatat bahwa di Indonesia terjadi penurunan angka deforestasi yang signifikan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa GLAD menggunakan sistim, metodologi dan peristilahan yang berbeda dengan KLHK, dan lebih mengangkat istilah tree cover loss (tidak hanya deforestasi/kehilangan hutan alam, namun termasuk pemanenan pada hutan tanaman).
Bila mengacu pada GLAD (yang dirujuk oleh GFW/WRI), di tahun 2018, angka primary forest loss (hutan alam versi Indonesia) 40 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat kehilangan hutan tahunan di periode 2002-2016.
Media Inggris “The Guardian” juga mengangkat artikel yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang berhasil menurunkan deforestasi di tengah tren deforestasi dunia yang cenderung terus meningkat. Artikel tersebut berjudul “Death by a thousand cuts’: vast expanse of rainforest lost in 2018” ('Kematian Akibat Seribu Tebasan': Hamparan Luas Hutan Hujan yang Hilang pada 2018) yang diterbitkan pada 25 April 2019.
Keberhasilan ini hendaknya disyukuri oleh bangsa Indonesia, dan semoga dapat menjadi contoh bagi negara lain untuk melakukan pengelolaan hutan yang baik, sehingga pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat seiring dengan kelestarian hutan dan lingkungan.(adv)