Meski dalam pantauan pascalahir bayi harimau itu, kenyataan ada hal berbeda yang terjadi sehingga bayi harimau itu mati. “Kami lakukan pemantauan dan pemberian vitamin melalui induknya. Meskipun air susu sang induk kurang, tetapi bayi masih mau menyusu,” katanya.
Pihaknya sudah melakukan sejumlah prosedur yaitu otopsi yang dihadiri oleh petugas dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara dengan pembedahan pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang menyebabkan kematian sang bayi. “Hasilnya, tidak ada penyakit dan murni kematian akibat dehidrasi dan kekurangan cairan, ditambah prematur atau tidak cukup umur,” ujarnya.
Dokter Suci menjelaskan, dari jumlah kelahiran yang hanya satu ekor ini dianggap tidak produktif. Sebab, kebiasannya kelahiran harimau Sumatera ini minimal hanya dua ekor. Mengingat si Manis sudah tidak produktif akibat termakan usia. Makanya tidak memungkinkan untuk dikawinkan lagi dengan sang pejantan bernama Anhar.
“Usia harimau Sumatera di hutan sekitar 17 tahun, sedangkan di lembaga konservasi seperti di Medan Zoo, usia bisa mencapai antara 18 hingga 20 tahun. Artinya, si Manis tidak bisa dikawinkan lagi,” katanya.
Untuk harimau Sumatera, usia dewasa berusia sekitar tiga tahun, dibandingkan manusia 15 tahun. Artinya satu banding lima usianya dengan manusia. Langkah pengembangan dengan cara mencari betina-betina muda yang lebih produktif akan dilakukan.
“Sudah cukuplah buat si Manis karena usianya sudah tua. Dari pada jadi masalah lagi seperti mati lebih baik tidak dilakukan, ” jelas Suci.
Dia mengatakan, saat ini bangkai bayi harimau Sumatera masih dalam klinik rumah sakit Medan Zoo. Rencananya tubuh sang bayi akan diawetkan, sebagai bentuk upaya lain dari penelitian dan pendidikan tentang Harimau Sumatera.(gus/azw/mng)
