TRADISI PERNIKAHAN MASYARAKAT PARIAMAN

Mengenal Istilah Bajapuik dan Uang Japuik

Sumatera | Sabtu, 25 November 2023 - 15:06 WIB

Mengenal Istilah Bajapuik dan Uang Japuik
Ilustrasi acara pernikahan. (DOK PADEK.CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Indonesia diikat dengan falsafah bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Falsafah itu menunjukkan Indonesia memiliki kekayaan besar, yaitu perbedaan. Perbedaan itu saling mengisi dan menyatukan.

Begitu juga di sisi adat dan tradisi budaya. Antara satu provinsi dengan provinsi terdapat ada budaya yang berbeda. Adat dan budaya itu memiliki keunikan tersendiri.


Dari 38 provinsi di Indonesia saat ini diyakini terdapat budaya yang berbeda pula. Satu per satu cukup menarik untuk ditelisik. Salah satunya tradisi budaya masyarakat Pariaman. Masyarakat Pariaman ini secara geografis merupakan orang yang tinggal dan berasal dari Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat (Sumbar).

Sumbar dikenal dengan budaya Minangkabaunya. Meski begitu, antara satu kabupaten/kota dengan lainnya kadang kala terdapat perbedaan tipis tradisi. Begitu juga dengan masyarakat Pariaman. Meski sama-sama orang Minangkabau, di daerah ini terdapat satu tradisi unik hal pernikahan. Yaitu disebut bajapuik. Jika dipadankan dengan bahasa Indonesia yaitu dijemput.

Bajapuik ini dialamatkan kepada pengantin laki-laki (marapulai). Tradisi bajapuik atau menjemput pengantin laki-laki disebut sebagai adat nan diadatkan. Artinya tradisi yang lahir berubah-ubah dan hanya disepakati oleh komunitas adat itu saja. Dalam hal ini di Pariaman.

Sejarawan Minangkabau Welhendri dalam bukunya, Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, mengatakan bahwa bajapuik didasari oleh sistem keturunan dalam adat Minangkabau, yaitu sistem matrilineal. Artinya garis keturunan mengikuti dalam garis ibu atau keturunan dilihat dari garis ibu.

Maka dari itu, setiap pernikahan. Pengantin laki-laki atau marapulai datang ke rumah anak daro (mempelai perempuan). Kedudukan suami seperti tamu. Istilahnya abu di ateh tungku.

Sebagai tamu atau orang datang, maka berlakulah nilai moral yakni datang "karano dipanggia, tibo karano dijapuik", yang berarti datang karena dipanggil, tiba karena dijemput.

Lebih jauh Welhendri mengatakan, prosesi pernikahan di Pariaman, laki-laki selalu yang diantar ke rumah istri. Hal tersebut menandakan bentuk ketulusan hati menerima, maka dijemput oleh keluarga istri secara adat. Begitu juga sebaliknya, sebagai wujud keikhlasan melepas anak kemenakan, maka laki-laki diantar secara adat oleh kerabat laki-laki.

Bagi masyarakat Pariaman, bajapuik adalah suatu kewajiban dari keluarga anak daro kepada pihak marapulai. Bentuk bajapuik itu ditandai dengan pemberian sejumlah berupa uang japuik sebelum pernikahan dilangsungkan.

Jumlah uang japuik pada umumnya dibahas oleh mamak (paman dari garis ibu) mamak marapalai. Azami dalam Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat menyebutnya diskusi mengenai uang japuik dilakukan dalam sebuah acara bernama batimbang tando.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam tradisi bajapuik. Di antaranya maantaan asok atau marantak tanggo (mengantarkan asap). Artinya perkenalan keluarga dari kedua pihak calon mempelai.

Keluarga calon anak daro akan mengunjungi keluarga calon marapulai. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan waktu pernikahan digelar (bakampuang kampuangan).

Selanjutnya, ketika hari pernikahan tiba, keluarga anak daro akan melakukan prosesi manjapuik marapulai sekaligus membawa uang japuik.

Tradisi tersebut terbilang unik, tetapi jarang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai daerah yang dikenal dengan falsafah "adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah", maka setiap tradisi atau adat harus selaras dengan ajaran agama.

Maksudnya, antara adat dan nilai-nilai agama tidak boleh saling bertentangan. Hal itu juga ditegaskan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Pariaman Rinalfi.

Dia mengatakan tradisi bajapuik tidak melanggar hukum Islam dan lebih mengacu kepada adat istiadat serta tidak terkait agama. Apalagi, prosesi tradisi bajapuik dilakukan sebelum pernikahan berlangsung, sehingga tidak termasuk kepada syarat pernikahan.

"Dalam Islam tidak ada dibahas secara detail tentang uang jemputan karena itu termasuk ke dalam fikih kontemporer atau di luar fikih Islam secara umum," tuturnya.

Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Pariaman Priyaldi menyebutkan, pemerintah daerah berusaha melindungi tradisi bajapuik di daerah tersebut. Sebab bajapuik merupakan suatu kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini.

"Perkawinan bajapuik merupakan suatu kearifan lokal di Pariaman yang perlu dijaga dan dilindungi di tengah kemajuan zaman saat ini," ujar Priyaldi.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2022 lalu telah menetapkan tradisi bajapuik sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).

Tradisi bajapuik ini masih panjang pembahasannya. Tulisan ini hanya menjelaskan secara singkat dan belum utuh. Bajapuik tidak sama dengan dibeli. Uang japuik bukan uang pembelian. Jadi, marapulai atau pengantin laki-laki tidak dibeli oleh keluarga anak daro (pengantin perempuan).

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook