ASHRAF Fayadh, penyair Palestina berusia 35 tahun itu, tentu tak pernah mengira, bahwa puisi-puisi yang ia tulis telah menyebabkan ia dieksekusi mati, 14 Januari lalu. Sebagaimana juga ia tidak mengira, bahwa puisi-puisi yang ia tulis itu, telah membuat otoritas Arab Saudi menuduhnya murtad. Ia bahkan sangat terkejut dan menolak tuduhan itu. Sebab, ia merasa tidak ada sedikitpun isu pemurtadan dalam syair yang ia tulis.
Tapi, itulah tafsir. Betapapun kerasnya Ashraf berteriak bahwa syair-syair yang dituliskannya hanya menggambarkan ekspresi dirinya sebagai seorang pengungsi Palestina, yang berbicara ihwal budaya dan cinta, tetap ia dituduh menghujat Tuhan dan Nabi, menyebarkan ateisme, menyangkal hari kebangkitan, dan sejumlah tuduhan lain. Kemerdekaan tafsir si pembaca, di sini, rupanya telah betul-betul membuat si penyair “mati.”
Kematian penyairnya, sebagai si penafsir atas puisi-puisinya sendiri itu—sebagaimana kita jadi ingat esai Roland Barthes bertajuk the death of the author itu—rupanya betul-betul tak kuasa menolak mata pedang yang merenggut nyawanya. Bahkan ketika misalnya 200-an penulis yang tergabung dalam organisasi penulis dunia membuat petisi penolakan hukuman mati itu, dan menyeru, “Setiap individu memiliki kebebasan untuk percaya atau tidak percaya. Kebebasan hati nurani adalah kebebasan manusia yang terpenting,” tetap saja tak dapat menghentikan “kematian” Ashraf.
Maka, bukankah menjadi demikian “berbahaya” kemerdekaan tafsir itu? Otoritas tafsir yang dimiliki pembaca, pada saat-saat tertentu, rupanya justru berbalik menyerang ke penyair/pengarang. Dan pada saat yang sama, si penyair dibangkitkan kembali dari “kematiannya” (seolah atas nama sang pemilik tafsir) untuk dimintai pertanggungjawabannya. Celakanya, penyair “dipaksa” menerima dan mempertanggungjawabkan hasil tafsir si pembaca. Sehingga, pada saat yang sama pula, penyair kembali menemui “ajal”-nya.
Kematian berkali-kali sang penyair ini, tentu membuat kita tambah yakin bahwa teks puisi tak pernah bisa terpisah dengan tuannya. Entah apakah betul-betul tersebab oleh teks puisi maka seorang penyair dipenggal, atau entah tersebab aktivitas si penyair sebagai individu dalam kehidupan masyarakat, kita meyakini keduanya (teks dan penyairnya) selalu saling berkait-kelindan. Meskipun, tentu, pada akhirnya teks puisi adalah medium titik pertemuan keduanya.
Ketika Ashraf menulis puisi begini, misalnya, “Menjadi pengungsi berarti berdiri di ujung akhir antrean/ Untuk bisa mencicip seserpih negara,” maka kata “negara” di situ jadi sumbu pertelagahan tafsir. Meski kemudian seolah tak dapat disangkal, di negara penuh konflik berdarah bertahun-tahun semacam Palestina, kata “negara” saja, bisa menjadi demikian sensitif. Apalagi Ashraf terus menulis dengan diksi-diksi yang semacam ini, “Anak-anak seperti burung pipit. Tetapi mereka tak akan bersarang di pohon mati. Dan agen PBB tidak mesti menanam kembali pohon-pohon.”
Maka kalau teks-teks semacam ini ditulis di sini, di Indonesia misalnya, tentu takkan sampai berujung ke hukuman mati—meskipun sejarah juga membuktikan bahwa tak sedikit juga para penyair “dihukum mati” di luar meja pengadilan. Artinya, teks-teks puisi pun, tentu “tak akan (pula) bersarang di pohon mati...”***