Malin Kundang adalah fenomena itu sendiri. Ia menjadi guru yang memberikan hikmah pada setiap pendurhakaan-pendurhakaan yang dilakukan, ulasnya.
Ceritanya selalu mengisahkan hubungan antara Malin dan ibunya, yang juga dapat dibaca sebagai hubungan laki-laki Minang dengan ibu kandungnya. Ibu secara genetik maupun ibu secara budaya, yaitu ibu sebagai tanah kelahiran.
Konsep
Konsepsi pengemasan pertunjukan ini melakukan penjelajahan estetik yang ada pada seni pertunjukan tradisional Minangkabau, yakni Randai, Indang dan Tupai Janjang. Tidak hanya berupa upaya mengkreasikan lingkaran gerak galombang, tapuak galembong ataupun unsur-unsur lain yang terdapat pada Randai, namun pengkarya juga akan mencoba membongkar konvensi, pakem, kode yang terdapat dalam seni pertunjukan tradisi tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep estetika postmodern.
Terkhusus pada kerja keaktoran dalam penciptaan pertunjukan, terinspirasi dari musik internal dan eksternal yang berkembang pada pertunjukan Randai hari ini. Sang sutradara mencoba mengarahkan dan merangsang para pemeran untuk dapat berperan, berdendang, menari sekaligus sebagai pemusik internal. Artinya, pertunjukan ini tidak menggunakan pemusik eksternal. Pada pertunjukan ini, musik hadir melalui bunyi-bunyian yang dihasilkan melalui tubuh pemeran misalnya tepukan tangan, pukulan pada sarawa galembong, petik jari, tepuk dada, siulan, hentakan kaki ke tanah dan sebagainya.
Selain itu, musik juga hadir melalui pemeran yang memainkan langsung instrumen tradisi seperti rabab, saluang, gandang, talempong dan juga instrument musik barat, ujarnya.
Untuk penjelajahan estetika Indang, akan dilakukan pada kerja penyutradaraan dalam menyusun komposisi grouping dan bloking pemeran. Hal ini terinspirasi dari Indang dalam konteks pertunjukan rakyat, di mana selalu menghadirkan tiga kelompok yang bertanding.
Posisi ketiga kelompok tersebut selalu membentuk segitiga. Selain itu, eksplorasi Indang dilakukan dengan kerja dekonstruksi terhadap teks Indang itu sendiri. Salah satu bentuk dekonstruksi itu adalah usaha eksplorasi untuk menghasilkan bunyi yang tidak biasa dari hasil pemukulan rapai, serta perlakuan terhadap rapai itu sendiri.
Menurut Mahatma, setiap zaman akan melahirkan Malin Kundangnya yang baru, dalam bentuk yang lain. Setiap zaman, akan melahirkan ibu-ibu yang selalu mengutuki anaknya, dalam bentuk yang lain. Suatu kali di lain waktu, kau dan aku mimpi bertemu ibu. Diam-diam saling mendurhakai, menyusun silsilah keluarga yang lebih malin kundang daripada silam.
Juni dan Juli
Alam Takambang jadi Batu; Kaba-kaba yang Membunuh Tukang Kaba dan Ibu-ibu yang Selalu Mengutuk Diri Sendiri hanyalah satu dari belasan karya teater yang digelar sepanjang Juni dan Juli 2018. Diakhir bulan lalu, tepatnya 28-30 Juni sudah dibentang 10 karya pada perhelatan Ajang Teater Sumatera (ATS) lll tajaan Lembaga Teater Selembayung bersama Dinas Pariwisata Riau. Kemudian dilanjutkan dengan helat Parade Teater Se-Riau yang menyuguhkan enam karya. Dan akhir Juli nanti, akan tampil pula Komunitas Suku Seni Riau dengan karya Hikayat Orang Laut yang disutradarai Marhalim Zaini.