Dikatakan Mahatma, kutukan dalam kisah Malin Kundang bisa terjadi kepada siapa saja, tersebab Malin Kundang adalah kesadaran akan sikap yang berbeda. Terkutuk dari alam dan lingkungan yang melahirkannya, hingga terasing dan dibatukan. Fenomena ini bisa saja terjadi pada laki-laki dan perempuan Minangkabau dari masa ke masa. Seakan setiap zaman melahirkan Malin Kundang yang baru dalam wujudnya yang lain. Seakan setiap zaman melahirkan kutukan ibu yang baru dalam wujud yang lain.
"Di wilayah inilah saya menekankan konteks pendurhakaan itu. Berbeda berarti memberontak, dan pemberontakan adalah sebuah pendurhakaan," ulasnya usai pertunjukan di Kota Pekanbaru.
Salah satu fenomena pendurhakaan yang dilihat Mahatma, banyaknya ragam versi cerita teks Malin Kundang yang lahir dari tangan sastrawan. Cerita-cerita yang lahir kemudian itu berbeda dengan cerita rakyat aslinya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada umumnya.
Ditegaskannya, tentu saja bentuk pendurhakaan sastrawan sebagai penulis cerita, memiliki maksud-maksud tertentu sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Tidak hanya melalui teks sastra, bentuk pendurhakaan lainnya juga dapat dilihat melalui teks-teks pertunjukan serta karya seni lainnya (seni rupa, film, seni media) yang berangkat dari kisah atau cerita rakyat Malin Kundang tersebut.
Merujuk pada kondisi hari ini, salah satu bentuk pendurhakaan itu dapat dilihat dari perantauan yang dilakukan oleh lelaki Minang dalam menghikmati keluasan alam sebagai guru telah membuatnya menjadi berbeda.
Saat laki-laki Minang harus kembali ke tanah ibu atau ibu pertiwinya sebagai tanah kelahiran, ia tidak lagi merasa dekat dengan norma dan adat yang dirasa mengurung. Ia menjadi asing dan terasing dengan tanahnya sendiri hingga dikutuki oleh masyrakatnya. Bisa jadi bahwa membatunya Malin Kundang di Pantai Air Manis itu tidak hanya karena soal pendurhakaan karena tidak mengakui ibunya, tapi juga karena tidak bertanggungjawab nya anak laki-laki yang pergi merantau terhadap keluarga ibu atau tanah asalnya.
Begitu pula dengan perempuan yang menetap di tanah ibu tersebut. Melalui lakon dan pertunjukan ini, pengkarya mencoba mempertanya kan kembali posisi perempuan sebagai ibu, sebagai calon ibu, sebagai Bundo Kanduang yang dalam masyarakat Minang diposisikan sebagai limpapeh rumah nan gadang. Artinya perempuan sebagai tiang utama yang menjaga harkat dan martabat keluarga beserta kaumnya. Tindakan apa saja yang dilakukan oleh perempuan Minang akan berdampak pada citra keluarga beserta kaumnya di mata masyarakat. Masih relevankah hal tersebut bila dibawakan pada posisi perempuan hari ini di Minangkabau? Bila tidak, dapatkah hal itu disebut sebagai sebuah bentuk pendurhakaan?
Ditambahkan Mahatma, Alam Takambang Jadi Batu sebagai judul karya diambil dari petatah-petitih ajaran Minangkabau yang aslinya berbunyi Alam Takambang Jadi Guru, yang memuat ajaran bahwa alam dijadikan sebagai falsafah yang mendasari aturan, norma, adat. Alam memberikan banyak hal. Alam memberikan kesadaran orang Minang untuk mengambil hikmah dari setiap fenomena yang ada.