PENTAS "NEGARA YANG HILANG" (SIJANGKANG)

Pesan Perdamaian dari Mutakui

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:15 WIB

Pesan Perdamaian dari Mutakui

“Mutakui ini telah menyumbangkan sekian banyak kekayaannya pada negara namun apa yang diberikan negara padanya? Hanya kemalangan demi kemalangan seperti pembangunan PLTA koto Panjang yang telah membenamkan kampung-kampung purba Kedatuan Mutakui bahkan setelah semuanya porakporanda, dalam areal Komplek Candi Muaratakus saja, tidak ada aliran listrik sama sekali. Kondisi ini membuat kami miris dan berupaya untuk mengembalikan posisi adat pada tempatnya semula,” paparnya.

Tamparan bagi Kaum Adat

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Pementasan karya yang sama di kampus ISI Padangpanjang, Sumbar juga mendapat apresiasi dari mahasiswa, dosesn-dosen jurusan teater, dan pelaku seni dari berbagai percabangan ilmu. Usai mementaskan karyanya di gedung pertunjukan sederhana itu, Fedli Azis selaku sutradara juga menjelaskan hal yang sama seperti usai pementasan di Candi Mutakui.

Diskusi yang digelar terasa hangat dan setiap dosen, terutama yang juga memahami persoalan adat istiadat, mengaku sangat terkejut dan ditampar berkali-kali. Mereka mengaku bahwa sebelum menyaksikan pertunjukan itu, akan disuguhkan pertunjukan teater Bangsawan Melayu, Mak Yong, atau lainnya. Namun setelah menyaksikan dan mengamati secara seksama, mereka tak percaya bahwa karya itu jauh dari bayangan mereka.

Salah satu dosen senirupa ISI Padangpanjang Hamzah menyebut, bahwa karya ini terasa apik dan dalam. Sehingga siapa saja yang ingin memahaminya, harus benar-benar fokus menikmatinya sebab kisah yang ditawarkan bukanlah tema atau wacana yang biasa diangkat sutradara-sutradara hari ini. Kisah purba versi Mutakui itu diakuinya sebagai informasi paling berharga karena syarat makna dan simbol-simbol purba yang tak lagi mudah didapatkan.

“Saya benar-benar merasa ditampar menyaksikan karya ini. Sutradara dan penulis teks saya rasa telah bekerja keras untuk menjadikan keheningan di panggung menjadi renungan untuk semua orang. Bukan saja bagi anak-anak muda hari ini dan nanti, tapi juga kaum adat yang tidak memahami adat dan agama secara mendalam,” kata Hamzah.

Sementara itu, sutradara Teater Sakata Tya Setiawati member apresiasi tinggi atas upaya Teater Selembayung dalam menyuguhkan wacana yang jarang dikemukan di hadapan publik. Inilah yang selalu saya sebut sebagai karya teater karena teater bukan saja soal tema kekinian, membangun konflik-konflik pada laku aktor. Saya suka karya ini dan berharap Teater Selembayung terus menggali sejarah Kedatuan Mutakui,” ulas Tya mengakhiri.(jefrizal)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook