Deklarasi Bandung
Keputusan dan Rekomendasi Kongres Kesenian Indonesia III Tahun 2015
Mukadimmah
Adalah suatu kepastian, bahwa dengan kebuntuan Reformasi 1998 yang mengamanatkan tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat melalui kebebasan berbicara dan berekspresi, serta reformasi institusi demokrasi, rakyat Indonesia mengalami stagnasi dan disorientasi di semua sektor kehidupan. Pembangunan instrumen politik telah menyisihkan kebudayaan dan kesenian yang seharusnya menjadi basis nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, kami pelaku kesenian merasa perlu mengembalikan kesenian kepada kodratnya, yaitu membentuk manusia Indonesia yang berkarakter terbuka, kritis, toleran dan berdaulat. Sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 32, negara wajib memajukan kebudayaan nasional di tengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin keberlangsungan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
Pernyataan Kongres
Kongres Kesenian Indonesia III 2015 adalah suatu refleksi yang melibatkan para pemangku kepentingan kesenian di Indonesia untuk membaca kembali kondisi terkini dunia seni kita di tengah arus perubahan yang terjadi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik baik dalam tataran lokal maupun global. Perubahan mengimplikasikan adanya hambatan maupun peluang yang dapat digunakan dalam rangka mengoptimalkan peran strategis seni dalam pembangunan dan kehidupan bernegara.
Negara hendaknya menempatkan kesenian sebagai landasan daya cipta dan kreativitas manusia; sebagai sarana dialog yang memungkinkan pertukaran nilai yang sehat, dan rangsangan terhadap imajinasi kolektif untuk membangun visi masa depan yang lebih baik; sarana untuk terus-menerus merumuskan identitas kebangsaan secara dinamis, terbuka dan inklusif. Pemerintah dapat mengoptimalkan peran strategis kesenian melalui rekomendasi yang dihasilkan oleh Kongres Kesenian Indonesia / KKI III 2015:
REKOMENDASI
I. Regulasi
Harus disusun dan dilaksanakan kebijakan menyeluruh yang diikat oleh ketetapan hukum di tingkat nasional hingga daerah yang mengatur peran dan fungsi negara sebagai fasilitator, politik anggaran yang berpihak pada kesenian, dan partisipasi aktif warga negara dalam pembinaan, pengelolaan, pengembangan, dan preservasi kesenian di Indonesia. Produk hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang tentang Kesenian atau produk hukum setara Undang-Undang.
Payung hukum menjadi fundamental untuk memastikan dukungan pamerintah terhadap tumbuhnya ekosistem kesenian yang sehat dan berkelanjutan. Ekosistem seni tersebut terkait dengan mata rantai yang mencakup pendidikan, penciptaan, mediasi dan apresiasi seni. Dukungan yang dimaksud berkaitan erat dengan pengembangan ataupun pengadaan infrastruktur untuk setiap mata rantai tersebut melalui dukungan pendanaan yang cukup untuk, antara lain: a) fasilitas untuk pusat-pusat kesenian, ruang-ruang publik, kelembagaan atau organisasi kesenian; b) jejaring kelembagaan, dan; c) merancang peta jalan (roadmap) kebijakan kesenian; d) menjamin kebebasan berkespresi dan operasionalisasi kegiatan-kegiatan kesenian berlangsung dengan baik dan merata.
Payung hukum tentang kesenian menjadi penting untuk menegaskan peran negara, bukan sebagai aktor utama dalam pengelolaan dan pengembangan kesenian; melainkan sebagai fasilitator aktif yang responsif terhadap perubahan kebutuhan maupun prioritas pengembangan kesenian. Secara bertahap, perlu direncanakan tahapan-tahapan penerbitan payung hukum kesenian, dalam bentuk UU dan Keppres yang menaungi peraturan-peraturan dalam berbagai tingkatan.
Upaya membangun payung hukum untuk pengelolaan dan pengembangan kesenian juga terkait dengan upaya merevisi UU yang telah ada dan mengikat seperti UU No. 33/2009 mengenai Perfilman; serta mengkaji ulang RUU Kebudayaan yang sudah ada.
II. Pemetaaan Ekosistem Kesenian.
Perlu upaya menyeluruh dan sistematik memetakan ekosistem kesenian Indonesia terkini dalam rangka melihat pertumbuhan yang ada beserta kebutuhan-kebutuhan spesifik dari berbagai sektor seni dengan rentang cakupan dari seni tradisi hingga yang paling kontemporer. Upaya ini sebagai langkah awal untuk menandai kekosongan di tingkat aturan, kelembagaan maupun anggaran yang dianggap menghambat perkembangan seni untuk memenuhi peran strategisnya tersebut.
III. Infrastruktur
Infrastruktur dimaksud bersifat fisik (pusat-pusat kesenian, ruang-ruang publik), kelembagaan atau organisasi kesenian dan jaringan kelembagaan sebagai agen pelaku maupun kebijakan publik mengenai kesenian yang menjamin kebebasan berekspressi dan operasionalisasi kegiatan-kegiatan seni berlangsung dengan baik dan merata.
IV. Kelembagaan dan Politik Anggaran Kesenian.
Realitas struktur birokrasi dan pengelolaan tata administrasi negara hari ini masih menyulitkan koordinasi antar Kementerian maupun lembaga negara hampir di semua sektor; tak terkecuali sektor pengelolaan dan pengembangan kesenian. Akibatnya banyak inisiatif dan penggunaan sumberdaya berjalan sendiri-sendiri , terkesan tidak nya acuan yang memungkinkan pencapaian bersama yang lebih efektif; efisien, transparan dan akuntabel dalam soal politik anggarannya.
Soal lain yang tak kalah pentingnya adalah semua proses pembentukan inisiatif-inisiatif termasuk pengelolaan sumberdaya dalam sektor ini juga seringkali tidak memenuhi prinsip partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan utama pengelolaan dan pengembangan kesenian.
Untuk itu perlu sebuah upaya terobosan untuk mempercepat penataan ekosistem kesenian yang lebih sehat dan berkelanjutan, terutama melalui mekanisme kelembagaan independen yang mempunyai posisi, kekuatan dan sumberdaya yang cukup untuk melakukan intervensi sekaligus koordinasi yang dapat mengurai kebuntuan koordinasi Kementerian /Lembaga. Kelembagaan independen yang dirancang sedemikian rupa untuk memainkan peranan sebagai representasi dunia kesenian Indonesia untuk menampung aspirasi, merancang inisiatif-inisiatif bersama para pemangku kepentingan dalam kerangka penataan ekosistem kesenian yang lebih sehat dan berkelanjutan, serta melakukan koordinasi antar Kementerian/Lembaga agar dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator atas inisiatif-inisiatif tersebut
V. Pendidikan Kesenian.
Harus dipastikan ruang gerak yang lebih luas bagi tumbuh dan berkembangnya bidang kesenian secara terstruktur melalui penijauan ulang terhadap visi, misi dan kurikulum nasional terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pendidikan kesenian dimaksud harus mengandung muatan lokal (local content) yang memberikan porsi yang komprehensif bagi keberlanjutan budaya lokal tanpa mengabaikan budaya kekinian yang dinamis. Sejalan dengan itu, perlu diwujudkan suatu gerakan nasional yang menetapkan mata pelajaran seni yang dapat memperhalus akal budi dan nilai-nilai moralitas yang tinggi harus diajarkan kepada para anak didik mulai pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Sekaitan dengan itu, pihak pemerintah perlu membuat cetak biru (blue print) pendidikan seni dimaksud dan melakukan sosialiasi yang melibatkan para pihak (stake holder) yang terkait sehingga mempercepat pencapaiannya.
VI. Pengembangan Sistem Pusat Data, Dokumentasi dan Informasi.
Harus diwujudkan pusat data, dokumentasi dan informasi terpadu tentang kesenian Indonesia sebagai wahana preservasi dan pengembangan seluruh kekayaan seni di Indonesia. Sistem pusat data ini harus terbuka dan mudah diakses oleh semua para pihak (stake holder) di negeri sendiri.
Sejalan dengan itu, perlu dilakukan identifikasi aktivitas kesenian melalui pengkajian dan penelitian dalam upaya melakukan pemetaan potensi kesenian yang ada
VII. Jejaring Kesenian.
Penguatan dan penciptaan jejaring penyangga dan wahana pomosi segala kegiatan dan hasil ciptaan seni di dalam maupun luar negeri. Negara harus mewujudkan suatu mekanisme terbentuknya pusat jaringan yang menghubungan semua wilayah geografis sekaligus memfasilitasi antarkomunitas seni di Indonesia serta mendorong terjadinya perluasan jaringan kerjasama di tingkat dunia.
VIII. Pembentukan Sekretariat Kerja Kongres Kesenian Indonesia III/ 2015
Harus dibentuk Sekretariat Kerja KKI III/2015 dengan tugas dan fungsi di antaranya melakukan sosialisasi mengawal dan mengimplementasikan semua Hasil Keputusan Kongres yang dapat menjembatani antara pelaku seni dengan pihak pemerintah pada tataran tertinggi yang dapat membuat keputusan.
IX. Usulan Program
Seluruh usulan program terlampir yang telah ditetapkan dalam sidang komisi, menjadi bagian yang tak terpisah dari rekomendasi ini.
Keputusan Kongres Kesenian Indinesia (KKI) III 2015, dinyatakan sebagai Deklarasi Bandung.
Bandung, 5 Desember 2015.
Tim Perumus:
Agung Hujatnika.
Alex Sihar.
Aminudin TH Siregar.
Fakhrunnas MA Jabbar.
Hafiz Rancajale.
M. Abduh Aziz.
Wicaksono Adi.
Fakhrunnas MA Jabbar adalah seniman, budayawan dan pensyarah Universitas Islam Riau, Pekanbaru.