"Lalu, apa rencana abang?"
"Ciptakan perang. Dalam perang, orang yang gugur akan mendapat syahid."
Aku tidak begitu paham dengan perang yang dia maksud. Bagaimana mungkin memulai perang, sementara setiap tahun kemerdekaan didengung-dengungkan. Pembicaraan kami malam itu juga mengarah pada persoalan isu teroris. Di negeri ini, isu teroris selalu mencuat di media saat ada kasus besar yang melibatkan para pejabat.
Aku tidak setuju, saat dia mengatakan pengeboman yang terjadi selama ini merupakan kebenaran yang harus didukung. Bagiku, itu sama saja dengan tindakan yang tidak waras. Terlebih, tindakan itu sama saja dengan bunuh diri. Hukum bunuh diri sendiri adalah dosa besar. Bagaimana mungkin pelaku atau yang dia sebut pengantin bisa masuk surga.
"Entah siapa yang teroris, mereka yang menggerogoti hak rakyat, atau mereka yang rela mati untuk menghentikan kekacauan yang terjadi. Mereka ikhlas, menjadi pengantin yang kelak masuk surga."
"Bagaimana mungkin. Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri?"
"Itu pengorbanan. Bukankah berkorban demi kebaikan agama dan demi menyelamatkan jutaan orang, itu hal yang terpuji? Mereka mati syahid dan kelak masuk surga."
Aku tidak percaya apa yang dia katakan. Aku baru sadar, perang yang dia maksud memang perang sungguhan. Menghabisi orang-orang yang dianggap musuh merupakan suatu keharusan. Dia percaya, kelak generasi yang akan lahir tidak lagi diracuni. Lama aku melamun memikirkan itu. Di sisi lain, aku berpikir. Memang ada baiknya jalan itu ditempuh agar generasi berikutnya bersih dari pikiran-pikiran busuk yang hanya bisa menekan sesama, menindas sesama.
Berminggu-minggu, pikiranku terus saja dibayangi perkataannya. Berbuat kebaikan demi orang banyak dengan mengorbankan diri sendiri, memang perbuatan terpuji. Terlebih, di negeri ini penindasan seperti tiada henti. Setiap tahun kemerdekaan diperingati. Tapi kenyataan yang ada, penindasan yang terjadih jauh lebih kejam dari penjajah.
Seperti dia yang kecewa terhadap penindasan dan kebobrokan demokrasi, aku pun sama. Hidup ini memang penuh pilihan. Dan di negeri ini aku dipaksa untuk menentukan pilihan. Begitu pun dia, memilih berhenti dari pekerjaannya. Berpindah-pindah tempat, dan terus mencari calon pengantin. Sampai akhirnya kami bertemu dan dia berhasil meyakinkanku, bahwa pilihan itu yang terbaik. Hingga akhirnya aku siap dan ikhlas menjadi calon pengantin.***